Pagi itu aku dikejutkan
dengan suara lelaki dari balik pintu yang memanggil-manggil bapak housefamku. Dari
nafasnya yang terdengar tersengal, sepertinya ada kabar yang teramat penting
yang hendak ia sampaikan kepada bapak.
“Pak Imam... Pak
Imam...”. Panggil lelaki itu sembari memukulkan tangannya ke punggung pintu
rumah.
“Siapa
pagi-pagi buta begini sudah teriak-teriak?”. Gumamku.
Saat kuarahkan
pandanganku ke arah jam, terlihat jarum pendeknya masih berada di antara angka
lima dan enam. Kondisi yang masih cukup gelap untuk wilayah Sumatera. Tak lama
kemudian terdengar bapak berjalan menuju sumber suara itu.
“O mas Fajar to, ada
apa mas?” Tanya bapak sambil membuka pintu.
“Minta maaf ini Pak pagi-pagi
sudah mengganggu. Anu Pak.. mau minta tolong”.
“Minta tolong apa?”
Tanya Pak Imam penasaran.
“Anaknya mas Joko yang
baru lahir meninggal Pak, jadi minta tolong agar Pak Imam mengumumkannya ke
masyarakat, sekaligus nanti minta tolong Pak Imam membantu mengurus jenazahnya”.
Pinta Mas Fajar yang merupakan adik kandung dari Pak Joko.
Bapak adalah salah
seorang warga yang ditokohkan di kampung ini, sehingga sudah menjadi kebiasaan
jika ada pengumuman apapun yang hendak disampaikan kepada masyarakat, bapaklah yang
menjadi penyambung lidah melalui pengeras suara yang ada di surau kecil yang
jaraknya sekitar seratus meter dari rumah. Melalui pengeras suara sederhana
itu, beritapun dengan cepatnya menyebar ke seluruh telinga masyarakat, termasuk
berita berpulangnya anak Pak Joko.
Sekitar pukul setengah
tujuh pagi aku telah berada di rumah Pak Joko. Aku menawarkan diri untuk ikut
melayat saat bapak hendak berangkat.
“Saya kan sudah menjadi
warga sini Pak, jadi harus ikut membantu jika ada warga lain yang membutuhkan
bantuan”. Ucapku meyakinkan bapak.
“Mari bapak-bapak
sekalian, kita sholatkan jenazahnya.” Ucap Pak Sahid setelah selesai mengurus
segala sesuatunya.
Pak Sahid adalah tokoh
agama di kampung ini. Lelaki paruh baya yang bertubuh kecil dan berjenggot ini
adalah orang yang dipercaya oleh masyarakat setempat untuk mengurus masjid dan juga
mengurus beberapa masalah agama lainnya, termasuk menikahkan orang dan mengurus
jenazah. Terkadang aku sedikit merasa iba dengannya, karena ia tak mendapatkan
upah apapun dari jasanya tersebut. Ia hanya diingat kalau sekiranya jasanya
akan dibutuhkan.
Sekitar sepuluh menit
menunggu, jumlah orang yang mau menyolatkan tak kunjung bertambah. Pak Sahidpun
terlihat bingung ketika hendak mengatur shaf. Dari gerak-geriknya ia ingin
mengatur barisan menjadi tiga shaf, merujuk pada Hadits Nabi yang mengatakan apabila
jenazah disholatkan minimal tiga shaf, maka doanya akan dikabulkan. Tapi
sepertinya keinginan tersebut takkan terwujud, mengingat di ruangan itu hanya
terdapat empat orang yang sudah siap untuk menyolatkan, Pak Imam, aku, ayah
almarhum, dan Pak Sahid sendiri. Padahal di luar rumah ada sekitar dua puluhan
orang sedang duduk-duduk sambil mengisap benda kecil berkepala api yang melekat
di sela-sela jari tangannya. Entahlah. Apakah mereka tidak bisa atau mungkin mereka
belum tahu hukum dan keutamaan sholat jenazah.
Sepulang dari melayat,
aku duduk termenung dan kembali memikirkan kejadian yang baru saja kualami. Tentang
sholat jenazah yang masih terasa asing bagi sebagian besar masyarakat di
perkampungan ini. Jika memang mereka tidak ikut melaksanakan sholat jenazah
dikarenakan tidak bisa, apakah itu sepenuhnya salah mereka? Kalau bukan salah
mereka, lantas siapa yang salah, siapa yang harus disalahkan? Kalaupun seandainya
mereka bisa namun masih enggan mengerjakannya karena tidak mengetahui
keutamaannya, siapa juga yang harus disalahkan. Sementara jika kita menengok perilaku
para pemuka agama di negeri ini, terutama mereka yang ada di departemen agama, mereka
hanya sibuk mengurus perbedaan-perbedaan kecil yang justru dapat memecah belah
ummat. Bukankah lebih baik jika mereka terjun langsung ke lapangan untuk
sekadar mengajarkan ajaran Tuhan bagi mereka yang masih jarang tersentuh ilmu
agama. Tapi tidak. Mengajarkan ilmu agama bukan hanya tugas para da’i atau
pemuka agama, namun adalah tugas bagi setiap individu yang telah mendapatkan
pengetahuan tentangnya. Mendidik adalah
tugas setiap yang orang terdidik.