Pagi
itu menjadi awal langkah kami belajar menjadi guru di Sekolah Dasar. Ya,
tanggal 12 Oktober adalah hari pertama para Calon Pengajar Muda angkatan V melangsungkan
Praktik Pengalaman Mengajar (PPM), sebelum nantinya kami resmi menjadi Pengajar
Muda. Angkot tua berwarna merah itu menjadi
saksi keberangkatan kami dari barak menuju lokasi. SDN 5 Cikao Bandung adalah
sekolah tempat kami PPM, Aku, Indra, Panca, Nina, dan Fara.
Tepat
pukul 06.45 WIB, kami sudah sampai di lokasi. Menurutku itu sebuah kesuksesan,
karena kalau bukan karena PPM, pada jam tersebut kami masih bermalas-malasan,
bahkan mandipun belum. Tapi pasti nanti akan terbiasa, terbiasa mandi pagi,
terbiasa sarapan pagi, dan yang serba pagi lainnya.
Bukan
sebuah kebetulan bahwa kami berlima mempunyai karakter yang hampir sama dalam
hal bersosialisasi dengan orang lain. Alhasil, tidak butuh waktu yang lama bagi
kami untuk berinteraksi dan membaur bersama dewan guru yang ada di sekolah
tersebut. “Tidak ada perbedaan di antara kita, tidak ada guru lama atau guru
baru, posisi kita di sini sama, sama-sama belajar.” Ucap Kepala Sekolah kepada
kami. Simpul senyumpun mulai merekah di bibir kami. Ternyata bahagia itu
sederhana, yaitu ketika disambut dan diterima baik oleh pihak sekolah.
Setelah
lama berbincang-bincang dengan Kepala Sekolah dan beberapa dewan guru yang ada,
kamipun menyetujui beberapa kesepakatan. Dan pada hari itu, kami mendapat izin
untuk masuk ke kelas meskipun siswa sedang melangsungkan UTS. Satu persatu
kelaspun kami masuki, sekadar untuk melihat-melihat calon siswa-siswi yang akan
menemani kami selama satu minggu ke depan. Dan sungguh menakjubkan, anak-anak itu
sungguh sangat antusias menyambut kedatangan kami. Senyum penuh cinta sudah
mulai terpancar dari raut wajah para generasi penerus bangsa tersebut. Untuk
kedua kalinya aku meyakini bahwa bahagia itu sederhana, yaitu ketika anak-anak
menyambut kami dengan senyuman penuh cinta.
UTS pun
selesai, artinya waktu bermain telah tiba. Sorot mata seluruh siswa mulai tertuju
kepada kami, dan mereka mulai memberanikan diri utuk mendekati kami, mungkin
karena kami adalah para guru muda yang__anggap saja__mempesona, sehingga sekali
bertemu dengan kami tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak terpikat kepada
kami. Dari situlah awal keakraban kami. Bersama mereka, kami bisa belajar
sambil bermain, menirukan gaya monyet berjalan, kodok berjalan, dan dan
beberapa permainan lain yang membuat kami seakan sudah saling kenal setahun
yang lalu. Kesenangan dan keceriaan, itulah yang dapat aku baca dari wajah
mereka. Meskipun pada saat itu sinar matahari secara terang-terangan menyatakan
perang, namun semangat anak-anak tidak menguap sedikitpun. Untuk ketiga kalinya
aku telah mengetahui definisi kebahagiaan. Bahagia itu sederhana, yaitu ketika
keberadaan kami dapat membuat mereka tertawa, ceria, dan bahagia.
Matahari
semakin terik, kamipun tidak tega melihat anak-anak kepanasan bermain di
lapangan, lalu kami berinisiatif melanjutkan beberapa permainan di dalam kelas,
seperti yang telah diajarkan para fasilitator
di tempat pelatihan. Dan disitulah tragedi itu berawal, tragedi yang baru aku
alami selama 24 aku hidup, yang tentunya akan mengendap di amigdalaku sampai
nanti. Saat hendak memasuki kelas, karena jumlah kami hanya berlima dan tidak
semua masuk kelas, otomatis tidak semua kelas akan terisi. Pada saat itulah aku
menjadi rebutan anak-anak kelas 2, kelas 4, dan kelas 6. Tangan kananku ditarik
oleh segerombolan anak-anak imut kelas 2, dan tangan kiriku ditarik oleh
sekitar 10 orang anak-anak kelas 4, sementara anak kelas 6 menunggu siapa yang
menang di antara mereka dan selanjutnya siap menerkamku. Untuk kesekian
kalinya, aku dapat mendefinisikan kebahagiaan. Bahagia itu sederhana, yaitu
ketika anak-anak memperebutkanku untuk masuk ke dalam kelas mereka.
Suasana
hati akan sangat menentukan aktivitas setiap orang. Tanpa terasa, kami harus
meninggalkan sekolah tersebut. Waktu telah membatasi kebahagiaan kami pada hari
itu. Akupun ingin segera berada pada hari senin tanpa harus melalui sabtu dan
minggu agar aku bisa cepat bersua kembali dengan mereka. Sabtu dan minggu
merupakan hari libur untuk sekolah di daerah ini. Jujur, aku telah terpikat
dengan mereka. Ya, mereka adalah para pria dan gadis kecil yang telah mencuri
hatiku. Kejutan terakhir pada hari itu adalah ketika semua siswa mendatangi
kami hanya untuk mencium punggung tangan kami seraya pamit pulang. Seketika
hati ini terenyuh, dan aku baru sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada
anak-anak. Dan ternyata bahagia itu sederhana, yaitu ketika aku mulai jatuh
cinta kepada anak-anak._____________