Sabtu, 27 Oktober 2012

Meredefinisikan Arti Kebahagiaan



Pagi itu menjadi awal langkah kami belajar menjadi guru di Sekolah Dasar. Ya, tanggal 12 Oktober adalah hari pertama para Calon Pengajar Muda angkatan V melangsungkan Praktik Pengalaman Mengajar (PPM), sebelum nantinya kami resmi menjadi Pengajar Muda.  Angkot tua berwarna merah itu menjadi saksi keberangkatan kami dari barak menuju lokasi. SDN 5 Cikao Bandung adalah sekolah tempat kami PPM, Aku, Indra, Panca, Nina, dan Fara.
Tepat pukul 06.45 WIB, kami sudah sampai di lokasi. Menurutku itu sebuah kesuksesan, karena kalau bukan karena PPM, pada jam tersebut kami masih bermalas-malasan, bahkan mandipun belum. Tapi pasti nanti akan terbiasa, terbiasa mandi pagi, terbiasa sarapan pagi, dan yang serba pagi lainnya.
Bukan sebuah kebetulan bahwa kami berlima mempunyai karakter yang hampir sama dalam hal bersosialisasi dengan orang lain. Alhasil, tidak butuh waktu yang lama bagi kami untuk berinteraksi dan membaur bersama dewan guru yang ada di sekolah tersebut. “Tidak ada perbedaan di antara kita, tidak ada guru lama atau guru baru, posisi kita di sini sama, sama-sama belajar.” Ucap Kepala Sekolah kepada kami. Simpul senyumpun mulai merekah di bibir kami. Ternyata bahagia itu sederhana, yaitu ketika disambut dan diterima baik oleh pihak sekolah.
Setelah lama berbincang-bincang dengan Kepala Sekolah dan beberapa dewan guru yang ada, kamipun menyetujui beberapa kesepakatan. Dan pada hari itu, kami mendapat izin untuk masuk ke kelas meskipun siswa sedang melangsungkan UTS. Satu persatu kelaspun kami masuki, sekadar untuk melihat-melihat calon siswa-siswi yang akan menemani kami selama satu minggu ke depan. Dan sungguh menakjubkan, anak-anak itu sungguh sangat antusias menyambut kedatangan kami. Senyum penuh cinta sudah mulai terpancar dari raut wajah para generasi penerus bangsa tersebut. Untuk kedua kalinya aku meyakini bahwa bahagia itu sederhana, yaitu ketika anak-anak menyambut kami dengan senyuman penuh cinta.
UTS pun selesai, artinya waktu bermain telah tiba. Sorot mata seluruh siswa mulai tertuju kepada kami, dan mereka mulai memberanikan diri utuk mendekati kami, mungkin karena kami adalah para guru muda yang__anggap saja__mempesona, sehingga sekali bertemu dengan kami tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak terpikat kepada kami. Dari situlah awal keakraban kami. Bersama mereka, kami bisa belajar sambil bermain, menirukan gaya monyet berjalan, kodok berjalan, dan dan beberapa permainan lain yang membuat kami seakan sudah saling kenal setahun yang lalu. Kesenangan dan keceriaan, itulah yang dapat aku baca dari wajah mereka. Meskipun pada saat itu sinar matahari secara terang-terangan menyatakan perang, namun semangat anak-anak tidak menguap sedikitpun. Untuk ketiga kalinya aku telah mengetahui definisi kebahagiaan. Bahagia itu sederhana, yaitu ketika keberadaan kami dapat membuat mereka tertawa, ceria, dan bahagia.
Matahari semakin terik, kamipun tidak tega melihat anak-anak kepanasan bermain di lapangan, lalu kami berinisiatif melanjutkan beberapa permainan di dalam kelas, seperti yang telah diajarkan para fasilitator di tempat pelatihan. Dan disitulah tragedi itu berawal, tragedi yang baru aku alami selama 24 aku hidup, yang tentunya akan mengendap di amigdalaku sampai nanti. Saat hendak memasuki kelas, karena jumlah kami hanya berlima dan tidak semua masuk kelas, otomatis tidak semua kelas akan terisi. Pada saat itulah aku menjadi rebutan anak-anak kelas 2, kelas 4, dan kelas 6. Tangan kananku ditarik oleh segerombolan anak-anak imut kelas 2, dan tangan kiriku ditarik oleh sekitar 10 orang anak-anak kelas 4, sementara anak kelas 6 menunggu siapa yang menang di antara mereka dan selanjutnya siap menerkamku. Untuk kesekian kalinya, aku dapat mendefinisikan kebahagiaan. Bahagia itu sederhana, yaitu ketika anak-anak memperebutkanku untuk masuk ke dalam kelas mereka.
Suasana hati akan sangat menentukan aktivitas setiap orang. Tanpa terasa, kami harus meninggalkan sekolah tersebut. Waktu telah membatasi kebahagiaan kami pada hari itu. Akupun ingin segera berada pada hari senin tanpa harus melalui sabtu dan minggu agar aku bisa cepat bersua kembali dengan mereka. Sabtu dan minggu merupakan hari libur untuk sekolah di daerah ini. Jujur, aku telah terpikat dengan mereka. Ya, mereka adalah para pria dan gadis kecil yang telah mencuri hatiku. Kejutan terakhir pada hari itu adalah ketika semua siswa mendatangi kami hanya untuk mencium punggung tangan kami seraya pamit pulang. Seketika hati ini terenyuh, dan aku baru sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada anak-anak. Dan ternyata bahagia itu sederhana, yaitu ketika aku mulai jatuh cinta kepada anak-anak._____________

Senin, 15 Oktober 2012

Menakar Sebuah Keikhlasan



“Mencari pengalaman, ingin bermanfaat bagi orang lain, dan sebagai wujud pengabdian terhadap bangsa.” Itulah jawabanku ketika aku ditanya mengenai alasanku mendaftar sebagai Pengajar Muda_ Indonesia Mengajar. Namun kini aku ragu dengan pernyataanku tersebut, lebih tepatnya mungkin niatku sudah sedikit terkontaminasi. Terlebih ketika aku diperhadapkan dengan daerah penempatan dimana PM V akan mengajar. Ada sedikit rasa berharap terhadap daerah penempatan, bahkan sampai berharap siapa yang akan menjadi teman sekelompok di daerah penempatan tersebut. Apakah mungkin niatku sudah tidak lurus? Padahal dulu niatku semata-mata ingin menggali dan menginspirasi para mutiara terpendam yang ada di semenanjung republik ini, tidak peduli itu dimana dan dengan siapa. Arrrgh.... apakah ada yang salah dengan hatiku? Apakah aku masih layak menjadi Pengajar Muda?
Pagi itu daerah penempatan untuk Pengajar Muda angatan V diumumkan. Aku berusaha untuk menutupi kekhawatiranku sembari berdoa dalam hati, ya Allah, semoga engkau pilihkan bagiku teman-teman dan daerah penempatan seperti yang aku harapkan. Dan ternyata kekhawatiranku benar-benar terjadi. Untuk urusan daerah penempatan mungkin tidak ada masalah, paling tidak sedikit sesuai dengan harapanku; ditempatkan di wilayah bagian barat. Namun, sungguh di luar dugaan dan harapan, aku mendapatkan teman sepenempatan yang secara hubungan emosional kami agak jauh, meskipun ada satu orang yang aku sudah tahu karakternya dan kami agak dekat. Jika pagi itu mungkin beberapa teman tepuk tangan gembira saat mengetahui daerah penempatannya, tapi tidak denganku. Aku sedikit kecewa meskipun aku harus memaksa bibir ini agar tetap tersenyum.
Pertanyaan demi pertanyaanpun muncul di pikiranku, namun semua adalah bentuk pembelaan terhadap harapanku yang tidak terwujud. Bahkan motivasiku sempat droop pasca pengumuman tersebut. Namun aku tidak mau terlalu lama larut dalam kegalauan ini. Ingat niat awalmu Andi... Akupun berusaha mengingat kembali perkataan dari beberapa orang yang pernah menasihatiku tentang keikhlasan, kuhadirkan kembali di pikiranku pesan dari Pak Anies Baswedan ketika memberikan sambutan pada pembukaan pelatihan, dan tentunya  pesan dari Dik Doank beberapa malam yang lalu cukup menjadi “tamparan keras” bagiku. Ya, aku harus bisa mengendalikan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa mengendalikan murid-muridku di sana nanti kalau mengendalikan diri sendiri saja aku tidak sanggup. Bagaimana mungkin aku bisa menginspirasi mereka jika ternyata aku sendiri yang sebenarnya membutuhkan inspirasi. Bagaimana mungkin aku bisa mengilapkan mutiara tersebut sementara aku tidak ikhlas, tidak bekerja dengan hati. Bukankah di sana nanti kami akan disebar di sekolah masing-masing. Bukankah teman yang aku harapkan bersamaku belum tentu punya keinginan yang sama denganku? Bukankah teman sekelompokku adalah orang-orang yang unik dengan kehebatannya masing-masing? Dan bukankah rencana Tuhan itu adalah sebaik-baik rencana? Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuk kita. Ya, paling tidak ini semua akan semakin mendewasakan umurku. Semua akan terjawab saat nanti aku telah menjalani dan mengalami setahun di Tulang Bawang Barat. Dan akan aku ceritakan kembali nanti melalui goresanku bahwa semua yang digariskan Tuhan adalah sebuah keindahan yang terkadang kita tidak mampu memahaminya. 
Jatiluhur, 30 September 2012

Senin, 01 Oktober 2012

Tembang yang Terlupakan



Perempuan paruh baya dengan rambut di atas bahu yang beberapa helai mulai memutih itu terus menatap Dian. Tatapannya tajam, bak ikan pemanah yang hendak menerkam burung yang terbang di atasnya. Dari raut wajahnya, tampak sekali adanya kekecewaan yang sangat mendalam.
Dian mencoba meneduhkan pikirannya. Ia seperti seorang terdakwa yang belingsatan karena menerima vonis dari seorang jaksa tanpa mengetahui jelas apa kesalahannya. Diam adalah satu-satunya jalan yang  ia pilih. Sesekali Dian mengeluarkan kalimat dari mulutnya, tetapi selalu dimentahkan oleh perempuan itu.
Semua ini berawal dari _menurut perempuan itu_ kesalahan Dian saat berada di sepetak ruang itu. Sebuah kelas kecil untuk micro teaching calon Pengajar Muda V. Sebanyak 14 calon Pengajar Muda yang tergabung di kelompk Dian harus menyimulasikan teori mengajar yang sudah dipelajari selama kurang  lebih empat minggu. Dan perempuan paruh baya itu adalah Assessor yang didatangkan dari salah satu universitas ternama di ibukota.
Lagu anak-anak. Ya. Masalah tersebut bermula dari hal yang __menurut Dian__ sangat sepele, yakni lagu anak-anak. Lagu yang saat ini sudah mulai dicampakkan oleh sebagian orang, terutama anak-anak. Lagu yang dianggap kedaluarsa dan sudah tidak memiliki nilai seni. Lagu yang ketika orang melantunkannya dianggaplah sebagai orang lawas yang tidak gaul dan tidak peka terhadap perkembangan musik masa kini.
“Kamu ikut menyanyi atau saya yang keluar?” Gertak Bu Ani mengagetkan Dian.
Sontak, Dian pun langsung terperanjat dari tempat duduknya. Tercengang bercampur tidak percaya. Bu Ani yang ia lihat seperti priyayi yang lemah gemulai ternyata mampu membuat seisi ruangan terdiam, tanpa ucap, termasuk dirinya.
Sebenarnya bukan niat Dian mengabaikan perintahnya ketika ibu tersebut memerintahkan semua yang ada di ruangan tersebut melantunkan sebuah lagu yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi cilik, Tasya, yang berjudul “Paman Datang”. Tapi memang Dian sama sekali tidak mafhum dengan lagu itu, nada maupun liriknya.
“Kalu kamu masih tidak mau menyanyi, biar saya pulang ke Jakarta saja!” kata Bu Ani semakin geram.
Dian semakin bingung. “Ssseetttt.... aku harus bagaimana?” Teriak Dian dalam gumamnya. Padahal Dian sudah bertutur pada ibu itu bahwa ia tidak hafal lagu itu. Kendatipun ia diancam dengan ancaman terkeji yang pernah ia dengar, Dian tetap tidak akan membuka mulutnya untuk melantunkan lagu itu. Atau mungkin ada yang menawarinya dengan seikat dolar agar ia mau melantunkannya, ia masih tetap pada pendiriannya, diam. “Andaikan saja pilihannya adalah aku menyanyi atau aku keluar, aku tidak akan sebingung ini, karena pilihan kedua yang pasti kuambil.” Bisik Dian kepada teman di sebelahnya.
“Maaf bu, saya benar-benar tidak hafal lagunya.” Ucap Dian lagi mencoba meyakinkan ibu itu.
Namun ibu itu tetap bergeming, seakan mengabaikan alasan yang diutarakan Dian, tatapnya semakin tajam.
“Jangan bilang tidak hafal, tapi belum hafal.” Sanggah Bu Ani sambil berjalan mendekatinya.
Keringat dingin mulai mengucur deras membasahi dahi Dian,  ia pejamkan mata dan membukanya lagi, berharap  terbangun dari mimpi buruk itu. Tapi semuanya sia-sia, karena kini ia sedang berada di dunia nyata.
“Kamu akan menjadi guru, mengajar anak-anak di sana nanti, jadi kamu harus bisa memberikan contoh kepada mereka.” Imbuh Bu Ani.
Dan akhirnya Dian pun mengerti, mengapa ibu itu menghakiminya seperti itu. Hanya karena dua kata yang keluar dari mulutnya yang dianggap tidak tepat Dian gunakan, tidak hafal.
Ibu itupun terus berlanjut menceramahi Dian, mengeluarkan argumennya mengapa tidak boleh menggunakan kata itu, karena menurutnya tidak hafal itu sangat berbeda dengan belum hafal. “Jika kamu mengatakan tidak hafal, maka selamanya kamu tidak akan hafal, tapi jika kamu mengatakan belum hafal, ada kemungkinan suatu saat nanti kamu akan hafal, dan itulah karakter yang harus kamu tanamkan kepada murid-mridmu nanti.”
Sejenak Dian berpikir, “Perkataan ibu itu ada benarnya juga.” Meskipun Dian masih belum terima dengan cara penyampaian ibu itu yang __menurutnya__ menyakitkan. Memang tidak sedikit guru zaman sekarang yang terlalu dini memvonis muridnya bodoh, malas, nakal, idiot, dan sifat-sifat jelek lainnya. Vonis seperti itulah yang tidak akan membangun karakter positif siswa, justru sebaliknya akan membunuh karakter mereka.
Ya, apa yang kerap masuk ke dalam telinga anak-anak, itulah yang akan tertanam kuat di alam bawah sadar mereka dan membentuk sebuah karakter. Seperti halnya lagu, jika sedari mungil lagu yang didengar adalah lagu pop, rock, boy band, girl band, dan lagu-lagu dewasa lain, maka bisa dipastikan mereka akan merasa asing jika mendengar lagunya Tasya, Joshua, atau Trio Wek-wek. Dan itulah yang menimpa Dian, terlahir sebagai bocah yang jarang bersentuhan dengan lagu anak-anak, alhasil tidak lebih dari setengah lusin jumlah lagu anak yang ia hafal.
“Mulai sekarang kamu harus mulai menghafal lagu anak-anak, bagaimana mungkin mau mengajar anak SD jika lagu anak-anak saja tidak hafal.” Ucap Bu Ani menyudahi ceramahnya sambil kembali ke tempat duduknya.
Belakangan baru Dian tersadar, betapa indahnya lagu anak-anak itu. Sebut saja lagu “jangan takut gelap” nya Tasya yang mengajarkan kepada anak-anak agar senantiasa berdoa sebelum terlelap, mengajak anak-anak agar mencintai kampung halaman melalui tembang “desaku yang kucinta”, atau belajar menghormati guru melalui “hymne guru”. Ah, lagu-lagu itu kini kian terhempaskan, terusir dari dunia anak, berganti dengan lagu cengeng, lagu romantisme yang mendayu-dayu yang __seharusnya__ belum waktunya anak-anak dengar. Kini ia (baca: lagu anak) sedang menangis lirih, berharap mendapatkan __kembali__ belaian lembut dari anak-anak. Jangan bertanya tentang lagu wajib nasional, karena tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau sudah terkubur bersama jasad para pahlawan. Entahlah.