Sabtu, 01 Desember 2012

Kampung Karet



Pukul empat sore lebih tiga puluh menit aku sampai di desa itu, sebuah desa kecil di pedalaman Tulang Bawang Barat yang berjarak sekitar tiga jam naik motor dari ibu kota kabupaten, desa yang akan menjadi tempatku bermukim nanti selama menggali inspirasi empat belas bulan ke depan. Dan akhirnya aku benar-benar menyentuh dan merasakan dengan panca inderaku secara langsung tempat yang selama ini hanya aku tangkap beritanya melalui Arga, PM 3 yang akan aku gantikan. Desa Terang Agung, begitulah orang-orang menyebutnya.
Di sepanjang lintasan menuju perkampungan ini, terlihat sebuah pemandangan yang belum pernah aku temui sebelumnya selama hampir seperempat abad umurku. Barisan pohon karet yang tersusun rapi memenuhi setiap lahan penduduk di salah satu kabupaten di provinsi gajah ini. Sejenak aku berfikir, karena jasa orang-orang di kampung inilah orang-orang kaya di ibu kota sana bisa melakukan aktivitasnya dengan mudah, meskipun para manusia langit itu enggan menyadari. Jika diperhatikan dengan seksama, posisi pohon karet itu sedikit condong ke sebuah arah, seakan sedang menundukkan kepala kepada sang pencipta, sang pemberi kehidupan. Di sebagian lahan yang lain terlihat tanah yang tertupi oleh hamparan tanaman singkong yang tingginya baru mencapai setengah meter. Pemandangan itu terlihat sejauh mata ini memandang, bak melihat sebuah bentangan karpet hijau yang teramat panjang.
Beberapa hari di kampung karet ini, banyak buah pelajaran yang telah aku petik. Pelajaran yang membuatku semakin merasa bahwa selama ini aku kurang bersyukur atas nikmat Tuhan yang secara cuma-cuma telah dianugerahkan kepadaku. Nikmat yang__mungkin__kebanyakan orang juga mengabaikannya. Sebuah karunia yang kita baru merasakan betapa pentingnya ia ketika ia telah pergi. Ia adalah “air”. Ya, mungkin sebagian orang menanggap air adalah sesuatu yang biasa saja, tidak ada istimewanya, tapi tidak untuk masyarakat Tulang Bawang Barat, khususnya desa Terang Agung, kecamatan Gunung Terang. Saat kemarau menghampiri, sumur-sumurpun kering kerontang meskipun kedalamannya telah mencapai kurang lebih 20 meter, kedalaman yang sangat tidak lazim untuk sumur di daerah asalku, Sulawesi. Untuk sumur bor, masih sangat jarang didapatkan di kampung ini, alhasil air menjadi barang yang sangat berharga di sepanjang dataran rendah di Pulau Sumatera ini.
Kondisi semacam ini mebuat beberapa warga terpaksa mengambil air dari rumah warga lain yang sedikit lebih beruntung karena sumurnya tidak mengalami kekeringan, termasuk bapak angkatku. Setiap pagi dan petang, beliau terlihat siap dengan motor bebeknya dan tiga buah jerigen untuk mengambil air yang jaraknya sekitar 400 meter dari rumah. Beberapa kali akupun mencoba membantu bapak untuk mengambil air. Hal tersebut berdampak pada aktivitas keseharian kami yang berhubungan dengan air. Satu ember plastik ukuran sedang menjadi jatah perorang untuk membersihkan badan (baca: mandi), dan hanya satu kali bilasan bila sedang mencuci pakaian. Memang tidak ada kesepakatan tertulis atau terikrar dari kami terkait aturan ini, namun kesadaran akan mahalnya air akan muncul dengan sendirinya ketika kita mengalami langsung.
Sulitnya mendapatkan air tidak serta merta membuat warga kampung yang berpenghasilan dari getah karet dan singkong ini bersuka cita ketika musim penghujan tiba. Karena ternyata ada masalah baru yang muncul ketika daerah yang lahannya belum resmi ini diguyur hujan, yakni jalannya tidak bisa dilewati. Dan itu sudah menjadi tragedi yang pasti terjadi dalam tiap tahunnya. Belum lagi jika hujan turun saat malam hari atau pagi hari, sudah bisa dipastikan warga harus menunda pekerjaannya menyadap karet. Meskipun panennya tiga hari sekali, tapi proses menyadapnya harus setiap hari.
Setelah hampir sebulan aku merasakan kekurangan air di kampung ini, musim hujan-pun tiba. Dan benar apa yang mereka katakan, kondisi jalan yang tekstur tanahnya dari jenis tanah liat itu nyaris tak berbentuk karena telah berubah menjadi lumpur. Hanya truk pengangkut singkong yang mau tidak mau harus melintasi jalan tersebut, itupun terpaksa karena harus menyetor singkong ke lapak. Hal ini menyebabkan kondisi jalan semakin parah. Menembus sela-sela pohon karet menjadi pilihan utama bagi pengendara sepeda motor dan pejalan kaki jika ingin melintas. Namun, karena seringnya dilewati, jalan setapak di dalam kebun karet itupun lama-kelamaan juga tak berbentuk. Anehnya, tidak ada upaya dari pemerintah setempat untuk memperbaiki kondisi jalan tersebut. Alasannya adalah yang tadi itu, bahwa tanah ini belum resmi, masih dalam sengketa.
Keadaan jalan yang licin dan berlumpur sering membuat pengendara sepeda motor terjatuh, atau bahkan tertanam. Terlebih pendatang seperti kami yang belum terlalu menguasai medan. Semua Pengajar Muda sebelum kami, PM III, pernah merasakan terjatuh dari kuda besi. “Belum dikatakan resmi menjadi orang Tulang Bawang Barat jika belum pernah jatuh dari motor.” Ucap salah seorang PM III saat bergurau dengan PM V. Dan baru beberapa hari di sini, sudah ada beberapa PM V yang mencicipi rasanya terjatuh dari motor. Meskipun aku belum pernah merasakannya, paling tidak aku pernah mengalami kejadian yang cukup memaksaku untuk menambak stok sabar dalam diriku, yaitu ketika kakiku harus menahan motor yang hampir terguling ketika melewati kubangan air yang warnanya mirip susu cokelat. Sepatu adidas putihku yang di hari sebelumnya aku cuci langsung berganti warna menjadi cokelat keabu-abuan.
Dua kondisi tersebut, musim hujan dan kemarau, sungguh bukan pilihan yang ideal. Tidak ada satu kondisi yang lebih baik dibanding kondisi lainnya. Dua-duanya dalah keputusan mutlak dari Tuhan yang harus dijalani, tentunya dengan perasaan legowo. Dan mereka (baca: warga Terang Agung) telah mengajariku bagaimana bersikap ikhlas dan tetap bersyukur dengan apapun yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Pastinya, selama empat belas bulan ke depan, akan ada banyak hal yang aku dapatkan dari kampung yang mereka sebut HTI (Hutan tanaman Industri) ini. Meskipun kampung ini tak seindah Pulau Hoga di Kabupaten Wakatobi, atau mungkin Halmahera Selatan yang selalu diagung-agungkan keindahannya oleh Pengajar Muda, namun aku yakin berjuta pengalaman berharga akan aku dapatkan di sini. Pengalaman yang tidak semua orang menjalaninya, entah karena tidak ada kesempatan atau tidak ada kemauan. Pengalaman yang takkan terbayarkan dengan apapun. Pengalaman yang bisa kuceritakan kepada anak cucuku kelak tubuh ini sudah mulai menua.