Senin, 13 Mei 2013

Pengalaman Kami Sewaktu Ujian Nasional By: Siswa SDS Terang Agung*



Kami senang bisa Ujian Nasional di SD Sakti Jaya. Kami harus ke Sakti Jaya karena jumlah kami di SDS Terang Agung tidak cukup untuk ujian sendiri. Jumlah kami hanya tujuh orang. Kami harus berangkat pagi-pagi sekali, karena tempatnya jauh, sekitar 1 jam. Kami senang bisa ulangan di sana, meskipun jalannya becek dan harus melewati empat jembatan. Jembatannya kecil dan susah dilewati. Ada satu jembatan yang pakai batang kelapa. Kami harus turun dari motor supaya bisa melewati jembatan. Di bawahnya ada air yang mengalir dan juga ikan cucut kecil yang sedang berenang. Kami menyempatkan diri mencuci tangan di aliran air itu. Airnya dingin, tetapi tempatnya agak seram karena jarang dilewati.
Hari kedua kami lewat jalan pintas. Kami menerobos kebun karet supaya cepat sampai di sekolah. Ternyata jalannya lebih becek dan licin. Sepatu kami jadi kotor karena terkena lumpur. Tapi kami tetap bisa melewatinya dengan hati-hati. Akhirnya kami selamat dari jalan becek yang ada. Juga ada tanjakan yang tinggi, tapi kami bisa menanjakinya. Untung saja doa kami dikabulkan oleh Allah supaya tidak hujan. Dan alhamdulillah selama kami ujian tiga hari tidak pernah hujan.
Soal ujiannya ada yang susah dan ada yang gampang. Di hari pertama kami agak grogi dan takut. Tapi pas hari kedua dan ketiga sudah tidak lagi. Kami mengerjakan ujian dengan jujur. Kami mengerjakan sendiri, tidak pernah bertanya kepada teman atau guru. Karena kami selalu ingat pesan Pak Andi agar berlaku jujur.

*Dhiana Putri, Yulita, Nita Nurjanah, Ayu Oktaviani, Kiki Wulandari, Febriyanti, Firdaus.

Senin, 15 April 2013

Ketika Pendidikan Tak Lagi Menjanjikan



Banyak teori yang menyatakan tentang tujuan pendidikan berikut manfaatnya. Mulai dari istilah pendidikan untuk memanusiakan manusia, menjadikan manusia dari tidak tau menjadi tahu, sampai pada manfaat pendidikan yang dapat mengangkat derajat hidup manusia. Namun itu semua tidak berlaku di kampung Terang Agung ini. Sebuah dusun kecil di Kecamatan Gunung Terang Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung. Semua teori tersebut tidak mampu diterima oleh masyarakat di sini, semua dimentahkan, bukan dengan teori dari ilmuwan lain yang lebih kuat, melainkan dengan pengalaman nyata mereka. pengalaman yang telah teruji. Seakan mereka sudah tak lagi percaya dengan yang istilah yang bernama pendidikan, semua hanya omong kosong, palsu.
Mereka bukan kecewa, bukan pula karena mereka tidak mampu membiayai anak-anak mereka untuk sekolah. Tapi semua itu lebih kepada ketidak percayaan mereka terhadap istilah yang identik dengan Ki Hajar Dewantara tersebut. Memang ada yang terkendala masalah biaya, tapi itu hanya sepersekian saja. Justru yang menjadi alsan mendasar adalah sebagian besar dari mereka merasa sudah sangat nyaman dengan kehidupan yang mereka jalani, meskipun tanpa pendidikan. Secara ekonomi, masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani karet ini mempunyai penghasilan yang terbilang cukup tinggi. Tiap hektarnya, pohon karet yang biasanya dipanen tiap dua hari sekali tersebut mampu mengeluarkan getah sekitar kurang lebih 40 kg, dengan harga perkilonya berkisar Rp.6000 – Rp. 8.000. Dengan demikian dalam sebulan mereka mampu mendapatkan uang melebihi gaji PNS golongan IIIA. Belum lagi di antara mereka juga memiliki kebun singkong__untuk produksi etanol__ yang sangat luas. Alhasil, meskipun di pedalaman, setiap rumah di kampung ini telah memiliki motor yang sebagian bahkan lebih dari satu, dan hampir semua rumah memiliki televisi meskipun kampung tersebut belum dijamah PLN.
Sekali lagi bukan masalah uang, tapi ini masalah perspektif. Mereka  menganggap pendidikan tidaklah penting. Tak sepenting kebun karet mereka. Mereka beranggapan bahwa pendidikan tidak mampu memberikan jaminan terhadap kelangsungan hidup mereka, juga anak cucu mereka. Justru sebaliknya, dengan mengirim anak mereka ke sekolah berarti mereka telah melakukan sebuah kerugian. Kerugian dari segi finansial maupun waktu. Jika saja waktu yang digunakan untuk sekolah dimanfaatkan untuk menyadap karet, sudah berapa untung yang mereka dapatkan. Dan itulah yang menurut mereka lebih menjanjikan, ketimbang harus membuang-buang uang untuk masa depan yang tidak jelas.
Memang tidak semua masyarakat di sini berpikiran seperti itu. Namun bisa dipastikan hampir 90% berpendapat bahwa pendidikan itu tidak penting. Dengan adanya anggapan seperti itu membuat anak-anak usia sekolah di kampung ini enggan untuk mengenyam pendidikan. Menurut mereka wajib belajar hanyalah sampai lulus SD. Oh.. bukan. Bukan wajib, tapi sunnah. Karena masih banyak di antara mereka yang enggan menyekolahkan anaknya, meskipun hanya SD. Dan bagi mereka yang menyekolahkan anaknya-pun terlihat kurang serius dalam mendukung pendidikan anaknya, mungkin hanya karena malu kepada tetangganya, atau hanya sekadar menggugurkan yang sunnah tadi. Sehingga tak jarang murid-murid SD di kampung ini tidak berangkat ke sekolah hanya karena alasan sepele; turun hujan, mau pergi ke pasar, ada hajatan, atau bahkan  diminta membantu orang tuanya bekerja.
Dengan kondisi seperti ini bisa dipastikan murid-murid SD di kampung ini banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi usai lulus kelas 6. Ini sudah hampir menjadi tradisi yang sulit dicabut karena telah mengakar. Selain karena alasan di atas tadi, jarak juga menjadi alasan mereka. Untuk sampai ke SMP, harus menempuh sekitar setengah jam perjalanan menggunakan motor. Bukannya mereka tidak punya motor, tapi mereka lebih memilih menggunakan motor mereka untuk pergi ke kebun. Namun semua itu hanyalah untuk menguatkan pendapat mereka bahwa pendidikan tidaklah penting. Sehingga di dusun ini siswa yang melanjutkan ke jenjang SMP bisa dihitung jari.
Entah siapa yang salah. Semua salah, atau mungkin tidak ada yang salah. Ini hanya masalah perspektif saja. Tapi bukankah pendidikan itu tidak hanya untuk meningkatkan taraf hidup dari segi finansial saja? Karena disadari atau tidak, tanpa pendidikan kita tidak akan mampu menjalankan peran kita sebagai manusia dengan sempurna. Terlebih manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dibanding makhluk lain. Tentunya dengan pendidikanlah kita mampu dan layak menyandang predikat tersebut. Kalaupun harus dinilai secara komersil, orang yang berpendidikan tidak akan pernah hidup kelaparan, kendatipun ia tidak memiliki kebun karet yang luas. Jikapun ada, itu adalah orang malas yang tidak mau mengaplikasikan ilmunya. Dan yang paling penting adalah bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang manfaatnya tidak bergantung pada alam seperti halnya SDA. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pemahaman seperti ini mungkin akan sangat mudah diterima oleh kalangan orang-orang yang terdidik, tapi tidak untuk mereka yang hidup jauh dari hiruk-pikuk kota yang terdidik langsung oleh alam. Sehingga ini menjadi tugas bersama bangsa ini untuk berupaya menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan. Secara konstitusi ini adalah tugas pemerintah, namun secara hierarki ini merupakan tugas setiap orang yang terdidik. Mungkin dengan hadirnya inspirator pendidikan akan mampu mengubah pola pikir mereka.

“Menyumbang uang itu baik, memberikan buku itu bermanfaat, membangun fasilitas pendidikan itu mulia. Namun, iuran terbesar dan terpenting dalam pendidikan adalah kehadiran. Hadirnya inspirator merupakan iuran terbesar dalam pendidikan.” Anies Baswedan.

Kamis, 28 Februari 2013

Kisah Delapan (Calon) Ahli Sains dari HTI




Jam menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit, lima belas menit lagi lonceng akan dibunyikan yang menandakan pengerjaan soal Olimpiade Sains Kuark resmi dimulai. Namun kedelapan anak itu belum juga muncul. Sambil membagikan soal ke masing-masing pengawas di setiap ruangan, sesekali pandanganku kuarahkan ke pintu gerbang sekolah, berharap ada rombongan motor yang datang membawa kedelapan anak itu. Namun sampai lima menit berselang, aku tetap tidak mendapati tanda-tanda kedatangan kedelapan anak itu.
Kedelapan anak itu adalah murid-murid SDS Terang Agung yang akan mewakili sekolahnya untuk mengikuti Olimpiade sains tingkat nasional itu. Satu anak level satu, level tiga dua anak, dan sisanya level dua. Merekalah yang akan mewakili sekitar sembilan puluhan anak di sekolahnya. Sekadar ingin membuktikan bahwa meskipun mereka hidup di daerah terpencil, mereka mampu bersaing dengan murid-murid di sekolah lain.
Pukul delapan lewat dua puluh menit, dan kedelapan anak itu belum juga terlihat. Akupun mulai sedikit gusar, entah apa yang terjadi pada mereka. Pikirankupun semakin tak karuan. Padahal sehari sebelumnya aku sudah menyampaikan kepada mereka agar datang sebelum jam setengah delapan, karena harus mengurus daftar ulang dan hal-hal kecil lainnya.
Pagi itu, diantara seratus tiga belas peserta di kecamatan itu, tinggal delapan anak dari SDS Terang Agunglah yang belum datang, sementara peserta lain sudah berada di dalam ruangan dan telah bersiap untuk mengisi biodata di LJK.
“Mas Andi, mana murid-muridnya?” Beberapa kali pengawas bertanya kepadaku.
“Tunggu sebentar lagi ya Bu.” Jawabku meyakinkan.
Mungkin karena jarak SDS Terang Agung yang berada di kawasan HTI (Hutan Tanaman Industri) tersebut paling jauh dengan lokasi olimpiade dibanding sekolah-sekolah lain, sehingga mereka belum juga datang. Untuk sampai ke tempat olimpiade, murid-murid SDS Terang Agung tersebut harus menempuh sekitar satu jam perjalanan menggunakan motor melewati kebun karet. Ditambah lagi mereka harus melalui jalan yang nyaris tak berbentuk karena diguyur hujan beberapa hari.
Akan sangat disayangkan apabila mereka terlambat atau bahkan tidak jadi datang. Akan terasa sia-sia perjuangan mereka selama ini. Selama dua bulan terakhir ini, mereka selalu terlihat bersemangat mengikuti les yang rutin dilaksanakan setiap harinya. Usai pulang sekolah, tak lama kemudian mereka telah berada di depan rumahku dengan membawa komik kuarknya. Mereka tak peduli kendatipun harus melalui jalan berlumpur tiap harinya, meskipun terkadang aku batalkan jadwal les dikarenakan ada urusan lain yang harus aku selesaikan di luar desa. Tapi mereka tetap tak patah semangat, dan semangat itulah yang membuatku tak rela jika mereka harus gugur sebelum berperang. Semangat anak kampung yang mungkin tak dimiliki oleh anak-anak yang hidup di kota-kota besar. Benarlah apa yang dikatakan oleh Anies Baswedan, bahwa berada di atas sering memudahkan seseorang untuk bermimpi, dan berada di bawah itu sering membuat bermimpi itu jadi mimpi tersendiri.
Di tengah kegelisahanku tersebut, saat seluruh peserta se-Indonesia siap mengerjakan soal, tiba-tiba dari ujung gerbang terlihat lima buah sepeda motor memasuki halaman sekolah. Perlahan akupun mengenali wajah mereka. Itu mereka. Teriakku dalam hati. Akhirnya kedelapan anak itupun tiba dengan diantar oleh orang tua mereka, sebagian terlihat bonceng tiga, mungkin orang tuanya tak sempat mengantar. Akhirnya mereka masih punya waktu beberapa menit untuk daftar ulang dan mengisi biodata di LJK. Sungguh peristiwa yang mengingatkan pada sesosok Lintang dalam film laskar pelangi, dimana ia hampir saja terlambat mengikuti lomba dikarenakan dihadang buaya di tengah perjalanannya.
Satu hal lagi yang membuatku cukup heran dari kejadian itu, sebagian dari mereka datang dengan ditemani orang tua mereka. Mungkin itu hal biasa bagi sebagian besar orang, tapi tidak untuk masyarakat di dusun Terang Agung. Biasanya para orang tua lebih memilih menyadap getah karet ketimbang mengurus pendidikan anaknya. Mereka akan merasa rugi besar jika sehari saja tak mengambil getah karet yang merupakan mata pencaharian utama mereka. Mungkin saja hati mereka telah tergugah. Atau mungkin juga karena tidak ada pilihan lain bagi mereka, karena jika bukan mereka siapa lagi yang akan mengantar. Jelas tak mungkin jika mengharapkan guru-guru di sekolah mau mengantar, karena di sekolah tempat mereka belajar hanya ada lima orang guru, dan kelima-limanya adalah perempuan yang mempunyai anak kecil. Tapi yang jelas, kehadiran orang tua murid tersebut menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku, kebahagiaan karena menyaksikan orang tua yang mulai tergerak hatinya untuk membantu mewujudkan cita-cita anaknya.


Senin, 25 Februari 2013

Bersama TVS, Lalui Jalan Tak Beres



Siang itu adalah siang biasa. Sama seperti siang pada hari-hari biasanya, tak ada yang istimewa di siang itu. Langit, awan, dan udara juga sama. Mataharinya-pun sama, seperti hari-hari sebelumnya panasnya terasa menggigit ubun-ubun, meskipun pada saat itu bayangan benda masih lebih panjang dibanding benda aslinya. Tapi bukan panas yang itu, bukan panas yang pernah aku rasakan sewaktu aku berada di ibu kota atau kota-kota besar lainnya. Ini adalah jamahan langsung matahari, bukan karena radikal bebas yang telah memadati udara.
       Di siang yang sama seperti siang biasanya itu, aku kembali mengalami hal yang_juga_tak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Untuk kesekian kalinya aku terjerembab ke dalam kubangan air bercampur lumpur yang warnanya tak jauh berbeda dengan susu cokelat. Dalam sekejap, pantofel hitam yang aku kenakan tak lagi berbentuk saat kaki ini mencoba menahan kuda besiku yang hampir saja menyelam ke dalam kubangan sedalam lutut orang dewasa itu. Dan siang itu akan menjadi sebuah kisah tersendiri yang akan melekat di amigdalaku meskipun sebenarnya kejadian seperti itu juga sering terjadi di siang-siang yang lain.
Meskipun matahari sangat membakar, namun tak berpengaruh banyak terhadap kondisi jalan di Tulang Bawang bagian Barat ini yang nyaris tak berbentuk akibat diguyur air pada setiap sore atau malam harinya. Saat air tertumpah dari langit, beberapa titik jalan menjelma menjadi aliran sungai dengan debit yang amat deras yang entah dari mana asalnya, dan sebagian titik yang lain tak ubahnya seperti sawah yang habis dibajak dan siap untuk ditanami padi. Meskipun bagiku ini aneh, tapi tidak bagi mereka, masyarakat pribumi (baca: Lampung) yang setahun sekali selalu mendapat suguhan yang sama.
Untungnya aku tak sendirian. Jika Oemar Bakri dengan sepeda kumbangnya, maka aku dengan bebek kecilku. Ya. Bebek berwarna merah itu telah menemani sepanjang perjalananku di tanah pengabdian ini. Berbagai kisah aku dengannya telah terajut dengan indah meskipun terkadang rasanya kurang indah. Meskipun terkadang aku melupakannya, bebek bermerek TVS itu selalu setia menemaniku dalam menaklukkan jalan tak beres di sepanjang kampung yang aku menyebutnya sebagai kampung peradaban ini. Kampung yang_mungkin_tak pernah sekalipun dikunjungi oleh para pemimpin di negara ini. Namun hasil kebunnya selalu dinikmati oleh mereka, para manusia langit.
Kisah di atas hanyalah sepenggal dari beberapa kisahku bersama motor investaris kantor itu. Pernah juga kejadian serupa menimpaku saat awal-awal aku menjamah kampung ini. Sepatu adidas putihku yang baru saja aku cuci seketika berubah warna menjadi cokelat saat aku memilih menginjakkan kaki di lumpur untuk menahan TVS yang hendak tersungkur ketimbang harus tubuhku yang bersentuhan langsung dengan lumpur itu. Dan semenjak saat itu, sepatu itu belum pernah lagi aku kenakan sampai detik ini. Mugkin sampai nanti saat musim panas menjelang.
Pernah juga aku terpaksa menjalankan kuda besi itu dengan kekuatan otot yang ada di tangan dan kakiku dikarenakan bannya bocor saat melintasi rimbunnya kebun karet. Selama kurang lebih setengah jam aku mendorongnya untuk berusaha keluar dari perkebunan itu dan mencari bengkel terdekat. Bukan hanya sekali, kejadian seperti itu acap kali berulang. Jalan terjal berbatu mungkin adalah penyebab utamanya. Kejadian lain seperti rantai lepas atau bahkan terputus di tengah perkebunan karet juga pernah kualami.
Kondisi jalan yang sangat buruk tersebut membuat TVS-ku sering keluar masuk rumah pesakitan motor. Andai saja dia mampu berucap, mungkin sudah lama dia bertutur bahwa dirinya telah mengalami kepayahan. Tubuhnya kini mulai ringkih, beberapa tulangnya sudah mulai retak, dan organ dalamnya sudah mulai tak normal lagi. Memang sudah waktunya untuk dia beristirahat, dari sejak zaman Pengajar Muda angkatan pertama, saat ini motor tersebut telah memasuki tahun ketiga dalam pengabdiannya. Ya. Bukan hanya kami Pengajar Muda yang_katanya_mengabdi, tapi juga TVS itu. Bahkan mungkin nilai pengabdiannya jauh lebih tinggi di atas kami.
Bersama TVS merah itu aku telah melalui semuanya. Melintasi jalan yang jarang atau bahkan takkan ditemui di kota-kota besar, kota tempat berakarnya orang-orang yang mengaku sebagai wakil rakyat namun sering kali tak merakyat. Buktinya, sudah hampir berganti generasi, jalan di kampung ini tak kunjung diperbaiki. Dan bersama bebek merah itu aku tlah menaklukkan jalan yang sebenarnya tak layak disebut jalan. Kadang terbesit pertanyaan apakah daerah ini masih masuk dalam kawasan Indonesia atau bukan? Daerah ini sangat dekat sekaligus jauh dengan Pulau Jawa. Ya. Meskipun jaraknya tak begitu jauh dengan Pulau Jawa, namun kondisi pembangunannya amatlah jauh berbeda. Dan mungkin masih banyak daerah di sepanjang pantai republik ini dengan kondisi serupa yang sebenarnya merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alamnya. Tapi entah kenapa kekayaan itu tak lantas membuat daerah itu maju dalam hal pembangunan. Ah sudahlah. Semua pasti ada hikmahnya. Paling tidak semua ini semakin membuatku mahir mengendarai sepeda bermesin itu. Sedikit memodifikasi tagline Indonesia mengajar, “setahun di Tulang Bawang Barat, seumur hidup lihai bersepeda motor”.

Senin, 04 Februari 2013

Sholat Jenazah Pertamaku di Kampung Pengabdian



Pagi itu aku dikejutkan dengan suara lelaki dari balik pintu yang memanggil-manggil bapak housefamku. Dari nafasnya yang terdengar tersengal, sepertinya ada kabar yang teramat penting yang hendak ia sampaikan kepada bapak.
“Pak Imam... Pak Imam...”. Panggil lelaki itu sembari memukulkan tangannya ke punggung pintu rumah.
            “Siapa pagi-pagi buta begini sudah teriak-teriak?”. Gumamku.
Saat kuarahkan pandanganku ke arah jam, terlihat jarum pendeknya masih berada di antara angka lima dan enam. Kondisi yang masih cukup gelap untuk wilayah Sumatera. Tak lama kemudian terdengar bapak berjalan menuju sumber suara itu.
“O mas Fajar to, ada apa mas?” Tanya bapak sambil membuka pintu.
“Minta maaf ini Pak pagi-pagi sudah mengganggu. Anu Pak.. mau minta tolong”.
“Minta tolong apa?” Tanya Pak Imam penasaran.
“Anaknya mas Joko yang baru lahir meninggal Pak, jadi minta tolong agar Pak Imam mengumumkannya ke masyarakat, sekaligus nanti minta tolong Pak Imam membantu mengurus jenazahnya”. Pinta Mas Fajar yang merupakan adik kandung dari Pak Joko.
Bapak adalah salah seorang warga yang ditokohkan di kampung ini, sehingga sudah menjadi kebiasaan jika ada pengumuman apapun yang hendak disampaikan kepada masyarakat, bapaklah yang menjadi penyambung lidah melalui pengeras suara yang ada di surau kecil yang jaraknya sekitar seratus meter dari rumah. Melalui pengeras suara sederhana itu, beritapun dengan cepatnya menyebar ke seluruh telinga masyarakat, termasuk berita berpulangnya anak Pak Joko.
Sekitar pukul setengah tujuh pagi aku telah berada di rumah Pak Joko. Aku menawarkan diri untuk ikut melayat saat bapak hendak berangkat.
“Saya kan sudah menjadi warga sini Pak, jadi harus ikut membantu jika ada warga lain yang membutuhkan bantuan”. Ucapku meyakinkan bapak.
“Mari bapak-bapak sekalian, kita sholatkan jenazahnya.” Ucap Pak Sahid setelah selesai mengurus segala sesuatunya.
Pak Sahid adalah tokoh agama di kampung ini. Lelaki paruh baya yang bertubuh kecil dan berjenggot ini adalah orang yang dipercaya oleh masyarakat setempat untuk mengurus masjid dan juga mengurus beberapa masalah agama lainnya, termasuk menikahkan orang dan mengurus jenazah. Terkadang aku sedikit merasa iba dengannya, karena ia tak mendapatkan upah apapun dari jasanya tersebut. Ia hanya diingat kalau sekiranya jasanya akan dibutuhkan.
Sekitar sepuluh menit menunggu, jumlah orang yang mau menyolatkan tak kunjung bertambah. Pak Sahidpun terlihat bingung ketika hendak mengatur shaf. Dari gerak-geriknya ia ingin mengatur barisan menjadi tiga shaf, merujuk pada Hadits Nabi yang mengatakan apabila jenazah disholatkan minimal tiga shaf, maka doanya akan dikabulkan. Tapi sepertinya keinginan tersebut takkan terwujud, mengingat di ruangan itu hanya terdapat empat orang yang sudah siap untuk menyolatkan, Pak Imam, aku, ayah almarhum, dan Pak Sahid sendiri. Padahal di luar rumah ada sekitar dua puluhan orang sedang duduk-duduk sambil mengisap benda kecil berkepala api yang melekat di sela-sela jari tangannya. Entahlah. Apakah mereka tidak bisa atau mungkin mereka belum tahu hukum dan keutamaan sholat jenazah.
Sepulang dari melayat, aku duduk termenung dan kembali memikirkan kejadian yang baru saja kualami. Tentang sholat jenazah yang masih terasa asing bagi sebagian besar masyarakat di perkampungan ini. Jika memang mereka tidak ikut melaksanakan sholat jenazah dikarenakan tidak bisa, apakah itu sepenuhnya salah mereka? Kalau bukan salah mereka, lantas siapa yang salah, siapa yang harus disalahkan? Kalaupun seandainya mereka bisa namun masih enggan mengerjakannya karena tidak mengetahui keutamaannya, siapa juga yang harus disalahkan. Sementara jika kita menengok perilaku para pemuka agama di negeri ini, terutama mereka yang ada di departemen agama, mereka hanya sibuk mengurus perbedaan-perbedaan kecil yang justru dapat memecah belah ummat. Bukankah lebih baik jika mereka terjun langsung ke lapangan untuk sekadar mengajarkan ajaran Tuhan bagi mereka yang masih jarang tersentuh ilmu agama. Tapi tidak. Mengajarkan ilmu agama bukan hanya tugas para da’i atau pemuka agama, namun adalah tugas bagi setiap individu yang telah mendapatkan pengetahuan tentangnya. Mendidik adalah tugas setiap yang orang terdidik.