Kamis, 17 Januari 2013

Menggugat Tarbiyah



Dua bulan sudah aku berada di desa ini. Artinya, ditambah dua bulan selama pelatihan di Ibu Kota, genap sudah empat bulan aku tidak lagi merasakan __yang mereka menyebutnya__ tarbiyah. Tarbiyah yang selama kurang lebih empat tahun aku jalani. Ya, empat bulan sudah aku menjalani hidup di luar kebiasaanku sebelumnya ketika aku masih berstatus sebagai mahasiswa.
Dua bulan pertama aku merasakan seperti burung yang baru keluar dari sangkar, bebas sebebas-bebasnya. Aku bagai menemukan kembali sebuah keleluasaan yang mereka sebut sebagai HAM (Hak Asasi Manusia). Aku tak lagi terbebani oleh tugas-tugas yang selama ini menjadi rutinitas yang kadang memberatkanku. Ya, aku terbebas dari itu semua, terbebas dari aktivitas pekanan yang harus aku lunasi. Muroja’ah hafalan surat yang ada di juz 29 dan 30, membuat resume buku dan mempresentasikannya, infaq, evaluasi amalan harian selama seminggu, serta beberapa tugas lainnya.
Hal itulah yang mungkin juga yang dirasakan oleh mereka yang terlepas dari barisan ini. Mereka yang terlepas karena alasan sibuk dengan kuliah bagi yang masih mahasiswa, atau alasan geografis bagi mereka yang telah berhasil mengenakan toga dan kembali ke kampung asal mereka atau pergi ke tanah rantau. Memang terkadang aktivitas dalam” lingkaran kecil” itu kurang mengasyikkan atau bahkan membosankan. Dan mereka (yang saya sebutkan di atas tadi) pasti sepakat dengan apa yang telah aku tuturkan tersebut. Sehingga tak jarang orang yang ketika masih mahasiswa sangat aktif dalam tarbiyah, mendadak lenyap ketika telah bergelar sarjana. Karena merasa tidak memperoleh sesuatu yang berarti dari “lingkaran kecil itu”. Yang ada hanya keletihan dan kepenatan.
Memasuki bulan ketiga tenggelam dalam tradisi baru, kondisi batinkupun berubah. Aku mulai merasa gelisah dengan kebebasanku tersebut. Karena dengan aku tidak lagi bergelayut dengan tarbiyah, sedikit banyak telah memengaruhi aktivitas keseharianku. Alquran yang dulu aku bisa membacanya satu juz dalam sehari, kini aku membutuhkan waktu satu minggu. Dulu dalam seminggu aku mampu menyelesaikan bacaan buku minimal sebuah, kinipun menjadi semakin jarang. Belum lagi hafalanku, evaluasi amalan harianku, serta aktivitas-aktivitas lainnya yang dulu sering kulakukan, kini mulai merenggang. Untuk bangun dan terjaga di sepertiga malampun aku semakin jarang.
Semakin hari kegelisahan itu semakin tak terkendali. Entah dengan cara apa aku bisa mengembalikan kondisiku seperti sediakala. Empat bulan lalu, aku masih bercengkerama dengan teman-teman yang selalu kurindukan. Mempelajari kalam ilahi, saling menasehati, curhat, sambil menikmati kuliner yang tersaji. Sungguh suasana yang takkan tergantikan. Namun, kini aku terserak. Aku terpisah dari mereka setelah aku memutuskan untuk mengabdikan diri menjadi guru SD di sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kota itu. Perekrutan Pengajar Muda yang diadakan oleh Indonesia Mengajar membuatku terlempar di belahan barat Indonesia, tepatnya di Kabupaten Tulang Bawang Barat, salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Lampung. Ingin menyelami Indonesia lebih dalam, itulah tujuan awalku mengikuti program ini.
Bagi sebagian orang, mungkin ini adalah hal yang sepele, namun tidak buatku. Bagiku ini adalah hal besar yang cukup membuatku resah siang dan malam. Lokasi desa yang terpencil tak menjadi masalah bagiku, jarak berapa kilopun akan kutempuh, kondisi daerah yang rawan konflikpun aku tak peduli, gulitanya malam akan kubelah, asalkan di daerah penempatan ini aku bisa tergabung kembali dalam “lingkaran kecil itu”. Itulah pintaku tiap selepas sembahku pada-Nya. Berharap Dia mendengar dan menjawab. Jika tidak, aku tak tahu apakah aku mampu bertahan lebih lama lagi, sebab bukan hanya ragaku yang kerontang, jiwakupun gersang dan butuh siraman hujan penyejuk.
Hampir empat bulan berjalan, jawaban itu tak kunjung tiba. Sementara kerinduanku terhadap ukhuwah yang ada dalam tarbiyah semakin membuncah, mengalahkan rindunya Qais terhadap Laila dalam kisah Laila Majnun. Terlebih lagi saat kaki ini melangkah menuju surau dan masjid di sekitar desa ini, seakan membuka lagi memori saat aku bersama teman-temanku dulu. Kewajiban dakwah memang aku tidak tinggalkan, setiap sore dan petang aku selalu mengajarkan kalimat Tuhan dan sunnah Rasul di TPA dan beberapa surau dan masjid yang ada, mengajarkan ilmu fiqih kepada mereka yang telah beranjak remaja, dan juga melalui mimbar jumat.  Namun, berbagi rasanya kurang lengkap tanpa mendapat bagian. Ibarat lilin, aku tak mau hanya menerangi orang lain sementaranya ia terlebur. Bukan hanya memberi ilmu yang aku inginkan, tapi juga diberi.
Aku ingin menggugat tarbiyah. Ya, menggugatnya. Karena ia telah menanamkan benih candu di hati dan otakku. Dan tanpanya kini aku layu, linglung, tersesat tanpa arah. Aku ingin menceburkan diri kembali dalam lautan dakwah itu. Sejenak kuteringat kalimat yang pernah terlontar dari Ustadz Fathi Yakan, bahwa pada hakikatnya bukan dakwah yang membutuhkan kita, melainkan kitalah yang membutuhkan dakwah sebagai kebaikan kita di dunia maupun di akhirat kelak. Ada atau tidak adanya kita, aktivitas dakwah akan terus berputar bersama orang-orang yang konsisten berjuang di dalamnya. Jika ada yang gugur, Allah akan menggantinya dengan generasi baru yang lebih baik darinya.
Tuhan tidak tidur, Tuhan tidak tuli, dan Dia tahu siapa hamba-Nya yang benar-benar ingin menyelami agama-Nya. Doakupun terijabah. Di penghujung Desember 2012, berbekal surat mutasi dari murobbiku di kota asalku, aku berhasil menemui salah seorang ustadz yang selanjutnya akan menjadi murobbiku yang baru. Seperti yang aku ungkapkan sebelumnya, jarak tak menjadi masalah bagiku. Setiap pekannya aku harus menempuh dua jam perjalanan menggunakan motor melewati jalan yang licin, berbatu, dan berlumpur hanya untuk menghadiri “lingkaran kecil” itu. Selepas sholat Ashar aku berangkat, dan kembali ke rumah esok harinya. Karena tidak mungkin aku menerobos kebun karet di tengah malam seorang diri, selain kondisi jalan yang tidak bagus, daerah ini sangat rawan dengan perampokan.
Kini setelah aku berpulang ke tarbiyah, aku serasa menemukan kembali ketenangan dalam hidup, meskipun “lingkaran kecil” itu baru sekali kuikuti. Dan bagi mereka yang merasa tidak mendapatkan sesuatu yang berarti dari tarbiyah, sesungguhnya ia tak pandai meresapi makna tarbiyah itu. Tarbiyah yang entah kapan aku dulu mulai mengenalnya, hari dan tanggalnya tak lagi kuingat. Mungkin juga dengan kalian yang saat ini masih bercumbu dengan aktivitas tarbiyah. Dan ujungnyapun aku tak tahu, sampai kapan tarbiyah ini akan terus kualami dan kujalani. Hanya pesan dari murobbi baruku saat pertemuan perdanaku itu yang selalu kuingat, “tarbiyah itu sepanjang hayat”.