Dua
bulan sudah aku berada di desa ini. Artinya, ditambah dua bulan selama
pelatihan di Ibu Kota, genap sudah empat bulan aku tidak lagi merasakan __yang
mereka menyebutnya__ tarbiyah. Tarbiyah yang selama kurang lebih empat
tahun aku jalani. Ya, empat bulan sudah aku menjalani hidup di luar kebiasaanku
sebelumnya ketika aku masih berstatus sebagai mahasiswa.
Dua
bulan pertama aku merasakan seperti burung yang baru keluar dari sangkar, bebas
sebebas-bebasnya. Aku bagai menemukan kembali sebuah keleluasaan yang mereka
sebut sebagai HAM (Hak Asasi Manusia). Aku tak lagi terbebani oleh tugas-tugas
yang selama ini menjadi rutinitas yang kadang memberatkanku. Ya, aku terbebas
dari itu semua, terbebas dari aktivitas pekanan yang harus aku lunasi. Muroja’ah hafalan surat yang ada di juz
29 dan 30, membuat resume buku dan mempresentasikannya, infaq, evaluasi amalan
harian selama seminggu, serta beberapa tugas lainnya.
Hal
itulah yang mungkin juga yang dirasakan oleh mereka yang terlepas dari barisan
ini. Mereka yang terlepas karena alasan sibuk dengan kuliah bagi yang masih
mahasiswa, atau alasan geografis bagi mereka yang telah berhasil mengenakan
toga dan kembali ke kampung asal mereka atau pergi ke tanah rantau. Memang
terkadang aktivitas dalam” lingkaran kecil” itu kurang mengasyikkan atau bahkan
membosankan. Dan mereka (yang saya sebutkan di atas tadi) pasti sepakat dengan
apa yang telah aku tuturkan tersebut. Sehingga tak jarang orang yang ketika masih
mahasiswa sangat aktif dalam tarbiyah,
mendadak lenyap ketika telah bergelar sarjana. Karena merasa tidak memperoleh
sesuatu yang berarti dari “lingkaran kecil itu”. Yang ada hanya keletihan dan
kepenatan.
Memasuki
bulan ketiga tenggelam dalam tradisi baru, kondisi batinkupun berubah. Aku
mulai merasa gelisah dengan kebebasanku tersebut. Karena dengan aku tidak lagi
bergelayut dengan tarbiyah, sedikit
banyak telah memengaruhi aktivitas keseharianku. Alquran yang dulu aku bisa
membacanya satu juz dalam sehari, kini aku membutuhkan waktu satu minggu. Dulu
dalam seminggu aku mampu menyelesaikan bacaan buku minimal sebuah, kinipun
menjadi semakin jarang. Belum lagi hafalanku, evaluasi amalan harianku, serta
aktivitas-aktivitas lainnya yang dulu sering kulakukan, kini mulai merenggang. Untuk
bangun dan terjaga di sepertiga malampun aku semakin jarang.
Semakin
hari kegelisahan itu semakin tak terkendali. Entah dengan cara apa aku bisa
mengembalikan kondisiku seperti sediakala. Empat bulan lalu, aku masih
bercengkerama dengan teman-teman yang selalu kurindukan. Mempelajari kalam
ilahi, saling menasehati, curhat, sambil menikmati kuliner yang tersaji. Sungguh
suasana yang takkan tergantikan. Namun, kini aku terserak. Aku terpisah dari
mereka setelah aku memutuskan untuk mengabdikan diri menjadi guru SD di sebuah
desa kecil yang jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kota itu. Perekrutan
Pengajar Muda yang diadakan oleh Indonesia Mengajar membuatku terlempar di
belahan barat Indonesia, tepatnya di Kabupaten Tulang Bawang Barat, salah satu
kabupaten yang ada di Provinsi Lampung. Ingin menyelami Indonesia lebih dalam,
itulah tujuan awalku mengikuti program ini.
Bagi
sebagian orang, mungkin ini adalah hal yang sepele, namun tidak buatku. Bagiku
ini adalah hal besar yang cukup membuatku resah siang dan malam. Lokasi desa
yang terpencil tak menjadi masalah bagiku, jarak berapa kilopun akan kutempuh,
kondisi daerah yang rawan konflikpun aku tak peduli, gulitanya malam akan
kubelah, asalkan di daerah penempatan ini aku bisa tergabung kembali dalam
“lingkaran kecil itu”. Itulah pintaku tiap selepas sembahku pada-Nya. Berharap Dia
mendengar dan menjawab. Jika tidak, aku tak tahu apakah aku mampu bertahan
lebih lama lagi, sebab bukan hanya ragaku yang kerontang, jiwakupun gersang dan
butuh siraman hujan penyejuk.
Hampir
empat bulan berjalan, jawaban itu tak kunjung tiba. Sementara kerinduanku
terhadap ukhuwah yang ada dalam tarbiyah semakin membuncah, mengalahkan rindunya
Qais terhadap Laila dalam kisah Laila Majnun. Terlebih lagi saat kaki ini
melangkah menuju surau dan masjid di sekitar desa ini, seakan membuka lagi memori
saat aku bersama teman-temanku dulu. Kewajiban dakwah memang aku tidak
tinggalkan, setiap sore dan petang aku selalu mengajarkan kalimat Tuhan dan
sunnah Rasul di TPA dan beberapa surau dan masjid yang ada, mengajarkan ilmu
fiqih kepada mereka yang telah beranjak remaja, dan juga melalui mimbar jumat. Namun, berbagi rasanya kurang lengkap tanpa
mendapat bagian. Ibarat lilin, aku tak mau hanya menerangi orang lain
sementaranya ia terlebur. Bukan hanya memberi ilmu yang aku inginkan, tapi juga
diberi.
Aku
ingin menggugat tarbiyah. Ya, menggugatnya. Karena ia telah menanamkan benih candu
di hati dan otakku. Dan tanpanya kini aku layu, linglung, tersesat tanpa arah.
Aku ingin menceburkan diri kembali dalam lautan dakwah itu. Sejenak kuteringat
kalimat yang pernah terlontar dari Ustadz Fathi Yakan, bahwa pada hakikatnya
bukan dakwah yang membutuhkan kita, melainkan kitalah yang membutuhkan dakwah
sebagai kebaikan kita di dunia maupun di akhirat kelak. Ada atau tidak adanya
kita, aktivitas dakwah akan terus berputar bersama orang-orang yang konsisten
berjuang di dalamnya. Jika ada yang gugur, Allah akan menggantinya dengan
generasi baru yang lebih baik darinya.
Tuhan
tidak tidur, Tuhan tidak tuli, dan Dia tahu siapa hamba-Nya yang benar-benar
ingin menyelami agama-Nya. Doakupun terijabah. Di penghujung Desember 2012,
berbekal surat mutasi dari murobbiku di kota asalku, aku berhasil menemui salah
seorang ustadz yang selanjutnya akan menjadi murobbiku yang baru. Seperti yang
aku ungkapkan sebelumnya, jarak tak menjadi masalah bagiku. Setiap pekannya aku
harus menempuh dua jam perjalanan menggunakan motor melewati jalan yang licin,
berbatu, dan berlumpur hanya untuk menghadiri “lingkaran kecil” itu. Selepas
sholat Ashar aku berangkat, dan kembali ke rumah esok harinya. Karena tidak
mungkin aku menerobos kebun karet di tengah malam seorang diri, selain kondisi
jalan yang tidak bagus, daerah ini sangat rawan dengan perampokan.
Kini
setelah aku berpulang ke tarbiyah, aku serasa menemukan kembali ketenangan
dalam hidup, meskipun “lingkaran kecil” itu baru sekali kuikuti. Dan bagi
mereka yang merasa tidak mendapatkan sesuatu yang berarti dari tarbiyah,
sesungguhnya ia tak pandai meresapi makna tarbiyah itu. Tarbiyah yang entah
kapan aku dulu mulai mengenalnya, hari dan tanggalnya tak lagi kuingat. Mungkin
juga dengan kalian yang saat ini masih bercumbu dengan aktivitas tarbiyah. Dan
ujungnyapun aku tak tahu, sampai kapan tarbiyah ini akan terus kualami dan
kujalani. Hanya pesan dari murobbi baruku saat pertemuan perdanaku itu yang
selalu kuingat, “tarbiyah itu sepanjang hayat”.