Tidak
lebih bagus dan tidak lebih buruk dari SD Muhammadiyah Gantong. Demikianlah
jika aku diminta mendeskripsikan sekolah tempatku _sebut saja_ mengajar. Sekolah
tersebut berada di sebuah desa kecil yang bernama Terang Agung, Kecamatan Gunung
Terang, sekitar dua setengah jam naik motor dari Ibu Kota Kabupaten Tulang Bawang
Barat dan empat sampai lima jam dari Bandar Lampung. Sejatinya, bangunan itu
belum layak untuk disebut sebagai sekolah, betapa tidak, gedung tersebut hanya berdindingkan
papan yang sudah mulai lapuk termakan oleh rayap, beratapkan seng yang sudah
usang, tanpa plafon, dan tanpa ada satupun ventilasi yang dapat membawa aliran
udara keluar masuk ruangan. Alhasil, bisa dipastikan siapapun akan bermandikan
peluh ketika berada dalam ruangan tersebut, bahkan hanya untuk beberapa menit
sekalipun. Ditambah lagi suhu yang kira-kira mencapai 37oC semakin
membuat isi kepala ini seakan mendidih. Maka tak jarang aku membawa anak-anak
untuk ke luar ruangan dan memilih untuk belajar di bawah pohon karet yang
berada tak jauh dari kelasku. Dan ternyata cara ini justru lebih disenangi oleh
mereka. Ya, ternyata alam lebih bersahabat dengan kita.
Masih
soal sekolahku, gedung satu lokal itu sebenarnya hanya terdiri dari empat
ruangan yang masing-masing ruangan mempunyai luas sekitar 4x6 m. Di antara
ruangan terdapat sekat papan seadanya setinggi
orang dewasa berdiri sebagai pembatasnya. Suara lantang sangat mutlak
dibutuhkan saat mengajar di dalam kelas, jika tidak, maka pekikan siswa di kelas
sebelah akan menenggelamkan suara kita. Belum lagi jarangnya sekat antar
ruangan yang menyebabkan siswa dapat dengan mudah bertransmigrasi ke ruangan
lain, semakin menguji kesabaran guru di sekolah ini, termasuk diriku.
Sekolahku
adalah satu-satunya sekolah dasar swasta di Kecamatan Gunung Terang di antara
23 sekolah dasar yang ada. Sekolah tersebut berdiri dari hasil swadaya
masyarakat setempat. “Sekolah akar”, demikianlah beberapa orang menamainya,
merujuk pada sebuah peribahasa “tak ada rotan akarpun jadi”. Di sekolah
tersebut terdapat tujuh tenaga pengajar termasuk kepala sekolah. Lima
perempuan, dua laki-laki, dan kesemuanya adalah tenaga honorer. Hal inilah yang
terkadang menyebabkan kurangnya disiplin _sebagian_ para tenaga pengajar dalam
menjalankan tugas, karena mereka harus mencari nafkah lain__nyadap getah karet__untuk
sekadar mencukupi kebutuhan hidupnya. Terlebih lagi tidak ada di antara mereka
yang mempunyai latar belakang pendidikan, rata-rata hanya keluaran SMA, hanya
satu lulusan D II dan satu PGSMTP. Tak pelak, akulah satu-satunya guru yang
paling sering dilihat siswa berdiri
tegak dengan tangan siap memukul lonceng pada saat jarum jam menunjukkan pukul
07.30.
Sekolah
tersebut memang sangat memprihatinkan, tetapi bukan berarti tidak ada usaha
dari pihak sekolah atau masyarakat untuk membangun sekolah tersebut. Kerap kali
kepala sekolah dan komite mengajukan bantuan pembangunan gedung ke Pemerintah
Daerah, namun apalah daya, usaha tersebut selalu kandas, alasannya adalah tanah
tempat sekolah tersebut menancap adalah tanah sengketa. Alasan tersebut memang bukan
mengada-ada, karena memang desa Terang Agung adalah desa yang berdiri di
kawasan bekas HTI (Hutan Tanaman Industri), sehingga sampai saat ini pemerintah
masih enggan mengucurkan bantuan pembangunan gedung yang layak dipakai untuk
proses belajar mengajar. Pun dengan tenaga pengajar, pihak sekolah juga sering
meminta bantuan ke Dinas Pendidikan untuk dikirimkan tenaga pengajar ke sekolah
tersebut, namun tak satupun PNS di kabupaten ini yang bersedia ditugaskan di
sekolah tersebut, meskipun diming-iming jabatan kepala sekolah sekalipun. Kondisi
geografislah yang menjadi alasannya. HTI merupakan daerah terdalam, terpencil,
belum tersentuh aliran listrik, dan kondisi jalan yang sangat sulit untuk
disebut bagus. Saat musim penghujan tiba selalu banjir, sehingga kondisi jalan menjadi
berlumpur bak sawah yang siap untuk ditanami benih padi, atau seperti medan
yang sering digunakan untuk lintasan offroad,
dan saat musim kemarau tiba berubah menjadi gurun pasir yang diceraikan air.
Ah,
mungkin aku terlalu menilai kondisi sekolahku dari sisi negatifnya. Bukankah
sisi positifnya juga tak kalah banyak. Lebih baik aku melihat sisi itu. Ya,
meskipun kondisi sekolahku sangat jauh di bawah sekolah-sekolah yang lain,
namun semangat anak-anak tetap melejit untuk belajar mengeja huruf-huruf dan
mengenal angka. Itulah yang membuatku tetap tersenyum dalam menjalani
pengabdianku di desa ini. Mereka memang anak kampung, dekil, dan mungkin katro,
tapi aku sangat yakin semangat tak kalah membumbung tinggi ketimbang mereka
yang berada di kota besar yang di sekolahnya lengkap dengan fasilitas modern. Semangat
inilah yang aku harapkan nantinya mampu mengantarkan mereka menggapai cita-cita
yang mereka impikan. Paling tidak, mereka tidak terbunuh oleh keputusasaan
mereka sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar