Pukul
empat sore lebih tiga puluh menit aku sampai di desa itu, sebuah desa kecil di pedalaman
Tulang Bawang Barat yang berjarak sekitar tiga jam naik motor dari ibu kota
kabupaten, desa yang akan menjadi tempatku bermukim nanti selama menggali
inspirasi empat belas bulan ke depan. Dan akhirnya aku benar-benar menyentuh
dan merasakan dengan panca inderaku secara langsung tempat yang selama ini hanya
aku tangkap beritanya melalui Arga, PM 3 yang akan aku gantikan. Desa Terang
Agung, begitulah orang-orang menyebutnya.
Di
sepanjang lintasan menuju perkampungan ini, terlihat sebuah pemandangan yang
belum pernah aku temui sebelumnya selama hampir seperempat abad umurku. Barisan
pohon karet yang tersusun rapi memenuhi setiap lahan penduduk di salah satu kabupaten
di provinsi gajah ini. Sejenak aku berfikir, karena jasa orang-orang di kampung
inilah orang-orang kaya di ibu kota sana bisa melakukan aktivitasnya dengan
mudah, meskipun para manusia langit itu enggan menyadari. Jika diperhatikan
dengan seksama, posisi pohon karet itu sedikit condong ke sebuah arah, seakan
sedang menundukkan kepala kepada sang pencipta, sang pemberi kehidupan. Di
sebagian lahan yang lain terlihat tanah yang tertupi oleh hamparan tanaman
singkong yang tingginya baru mencapai setengah meter. Pemandangan itu terlihat
sejauh mata ini memandang, bak melihat sebuah bentangan karpet hijau yang teramat
panjang.
Beberapa
hari di kampung karet ini, banyak buah pelajaran yang telah aku petik. Pelajaran
yang membuatku semakin merasa bahwa selama ini aku kurang bersyukur atas nikmat
Tuhan yang secara cuma-cuma telah dianugerahkan kepadaku. Nikmat yang__mungkin__kebanyakan
orang juga mengabaikannya. Sebuah karunia yang kita baru merasakan betapa
pentingnya ia ketika ia telah pergi. Ia adalah “air”. Ya, mungkin sebagian
orang menanggap air adalah sesuatu yang biasa saja, tidak ada istimewanya, tapi
tidak untuk masyarakat Tulang Bawang Barat, khususnya desa Terang Agung, kecamatan
Gunung Terang. Saat kemarau menghampiri, sumur-sumurpun kering kerontang meskipun
kedalamannya telah mencapai kurang lebih 20 meter, kedalaman yang sangat tidak
lazim untuk sumur di daerah asalku, Sulawesi. Untuk sumur bor, masih sangat
jarang didapatkan di kampung ini, alhasil air menjadi barang yang sangat
berharga di sepanjang dataran rendah di Pulau Sumatera ini.
Kondisi
semacam ini mebuat beberapa warga terpaksa mengambil air dari rumah warga lain
yang sedikit lebih beruntung karena sumurnya tidak mengalami kekeringan,
termasuk bapak angkatku. Setiap pagi dan petang, beliau terlihat siap dengan
motor bebeknya dan tiga buah jerigen untuk mengambil air yang jaraknya sekitar
400 meter dari rumah. Beberapa kali akupun mencoba membantu bapak untuk
mengambil air. Hal tersebut berdampak pada aktivitas keseharian kami yang berhubungan
dengan air. Satu ember plastik ukuran sedang menjadi jatah perorang untuk
membersihkan badan (baca: mandi), dan hanya satu kali bilasan bila sedang
mencuci pakaian. Memang tidak ada kesepakatan tertulis atau terikrar dari kami terkait
aturan ini, namun kesadaran akan mahalnya air akan muncul dengan sendirinya
ketika kita mengalami langsung.
Sulitnya
mendapatkan air tidak serta merta membuat warga kampung yang berpenghasilan
dari getah karet dan singkong ini bersuka cita ketika musim penghujan tiba.
Karena ternyata ada masalah baru yang muncul ketika daerah yang lahannya belum
resmi ini diguyur hujan, yakni jalannya tidak bisa dilewati. Dan itu sudah
menjadi tragedi yang pasti terjadi dalam tiap tahunnya. Belum lagi jika hujan
turun saat malam hari atau pagi hari, sudah bisa dipastikan warga harus menunda
pekerjaannya menyadap karet. Meskipun panennya tiga hari sekali, tapi proses
menyadapnya harus setiap hari.
Setelah
hampir sebulan aku merasakan kekurangan air di kampung ini, musim hujan-pun
tiba. Dan benar apa yang mereka katakan, kondisi jalan yang tekstur tanahnya
dari jenis tanah liat itu nyaris tak berbentuk karena telah berubah menjadi
lumpur. Hanya truk pengangkut singkong yang mau tidak mau harus melintasi jalan
tersebut, itupun terpaksa karena harus menyetor singkong ke lapak. Hal ini
menyebabkan kondisi jalan semakin parah. Menembus sela-sela pohon karet menjadi
pilihan utama bagi pengendara sepeda motor dan pejalan kaki jika ingin
melintas. Namun, karena seringnya dilewati, jalan setapak di dalam kebun karet
itupun lama-kelamaan juga tak berbentuk. Anehnya, tidak ada upaya dari
pemerintah setempat untuk memperbaiki kondisi jalan tersebut. Alasannya adalah
yang tadi itu, bahwa tanah ini belum resmi, masih dalam sengketa.
Keadaan
jalan yang licin dan berlumpur sering membuat pengendara sepeda motor terjatuh,
atau bahkan tertanam. Terlebih pendatang seperti kami yang belum terlalu
menguasai medan. Semua Pengajar Muda sebelum kami, PM III, pernah merasakan
terjatuh dari kuda besi. “Belum dikatakan resmi menjadi orang Tulang Bawang
Barat jika belum pernah jatuh dari motor.” Ucap salah seorang PM III saat
bergurau dengan PM V. Dan baru beberapa hari di sini, sudah ada beberapa PM V
yang mencicipi rasanya terjatuh dari motor. Meskipun aku belum pernah merasakannya,
paling tidak aku pernah mengalami kejadian yang cukup memaksaku untuk menambak
stok sabar dalam diriku, yaitu ketika kakiku harus menahan motor yang hampir
terguling ketika melewati kubangan air yang warnanya mirip susu cokelat. Sepatu
adidas putihku yang di hari sebelumnya aku cuci langsung berganti warna menjadi
cokelat keabu-abuan.
Dua
kondisi tersebut, musim hujan dan kemarau, sungguh bukan pilihan yang ideal.
Tidak ada satu kondisi yang lebih baik dibanding kondisi lainnya. Dua-duanya
dalah keputusan mutlak dari Tuhan yang harus dijalani, tentunya dengan perasaan
legowo. Dan mereka (baca: warga Terang Agung) telah mengajariku bagaimana
bersikap ikhlas dan tetap bersyukur dengan apapun yang telah dianugerahkan
Tuhan kepadanya. Pastinya, selama empat belas bulan ke depan, akan ada banyak
hal yang aku dapatkan dari kampung yang mereka sebut HTI (Hutan tanaman
Industri) ini. Meskipun kampung ini tak seindah Pulau Hoga di Kabupaten
Wakatobi, atau mungkin Halmahera Selatan yang selalu diagung-agungkan
keindahannya oleh Pengajar Muda, namun aku yakin berjuta pengalaman berharga
akan aku dapatkan di sini. Pengalaman yang tidak semua orang menjalaninya,
entah karena tidak ada kesempatan atau tidak ada kemauan. Pengalaman yang takkan
terbayarkan dengan apapun. Pengalaman yang bisa kuceritakan kepada anak cucuku kelak
tubuh ini sudah mulai menua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar