Banyak
teori yang menyatakan tentang tujuan pendidikan berikut manfaatnya. Mulai dari
istilah pendidikan untuk memanusiakan manusia, menjadikan manusia dari tidak
tau menjadi tahu, sampai pada manfaat pendidikan yang dapat mengangkat derajat
hidup manusia. Namun itu semua tidak berlaku di kampung Terang Agung ini.
Sebuah dusun kecil di Kecamatan Gunung Terang Kabupaten Tulang Bawang Barat,
Lampung. Semua teori tersebut tidak mampu diterima oleh masyarakat di sini,
semua dimentahkan, bukan dengan teori dari ilmuwan lain yang lebih kuat,
melainkan dengan pengalaman nyata mereka. pengalaman yang telah teruji. Seakan
mereka sudah tak lagi percaya dengan yang istilah yang bernama pendidikan,
semua hanya omong kosong, palsu.
Mereka
bukan kecewa, bukan pula karena mereka tidak mampu membiayai anak-anak mereka
untuk sekolah. Tapi semua itu lebih kepada ketidak percayaan mereka terhadap
istilah yang identik dengan Ki Hajar Dewantara tersebut. Memang ada yang
terkendala masalah biaya, tapi itu hanya sepersekian saja. Justru yang menjadi
alsan mendasar adalah sebagian besar dari mereka merasa sudah sangat nyaman
dengan kehidupan yang mereka jalani, meskipun tanpa pendidikan. Secara ekonomi,
masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani karet ini mempunyai
penghasilan yang terbilang cukup tinggi. Tiap hektarnya, pohon karet yang
biasanya dipanen tiap dua hari sekali tersebut mampu mengeluarkan getah sekitar
kurang lebih 40 kg, dengan harga perkilonya berkisar Rp.6000 – Rp. 8.000. Dengan
demikian dalam sebulan mereka mampu mendapatkan uang melebihi gaji PNS golongan
IIIA. Belum lagi di antara mereka juga memiliki kebun singkong__untuk produksi
etanol__ yang sangat luas. Alhasil, meskipun di pedalaman, setiap rumah di
kampung ini telah memiliki motor yang sebagian bahkan lebih dari satu, dan
hampir semua rumah memiliki televisi meskipun kampung tersebut belum dijamah
PLN.
Sekali
lagi bukan masalah uang, tapi ini masalah perspektif. Mereka menganggap pendidikan tidaklah penting. Tak
sepenting kebun karet mereka. Mereka beranggapan bahwa pendidikan tidak mampu
memberikan jaminan terhadap kelangsungan hidup mereka, juga anak cucu mereka. Justru
sebaliknya, dengan mengirim anak mereka ke sekolah berarti mereka telah
melakukan sebuah kerugian. Kerugian dari segi finansial maupun waktu. Jika saja
waktu yang digunakan untuk sekolah dimanfaatkan untuk menyadap karet, sudah
berapa untung yang mereka dapatkan. Dan itulah yang menurut mereka lebih
menjanjikan, ketimbang harus membuang-buang uang untuk masa depan yang tidak
jelas.
Memang
tidak semua masyarakat di sini berpikiran seperti itu. Namun bisa dipastikan hampir
90% berpendapat bahwa pendidikan itu tidak penting. Dengan adanya anggapan
seperti itu membuat anak-anak usia sekolah di kampung ini enggan untuk
mengenyam pendidikan. Menurut mereka wajib belajar hanyalah sampai lulus SD. Oh..
bukan. Bukan wajib, tapi sunnah. Karena masih banyak di antara mereka yang enggan
menyekolahkan anaknya, meskipun hanya SD. Dan bagi mereka yang menyekolahkan
anaknya-pun terlihat kurang serius dalam mendukung pendidikan anaknya, mungkin hanya
karena malu kepada tetangganya, atau hanya sekadar menggugurkan yang sunnah
tadi. Sehingga tak jarang murid-murid SD di kampung ini tidak berangkat ke
sekolah hanya karena alasan sepele; turun hujan, mau pergi ke pasar, ada
hajatan, atau bahkan diminta membantu
orang tuanya bekerja.
Dengan
kondisi seperti ini bisa dipastikan murid-murid SD di kampung ini banyak yang tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi usai lulus kelas 6. Ini
sudah hampir menjadi tradisi yang sulit dicabut karena telah mengakar. Selain
karena alasan di atas tadi, jarak juga menjadi alasan mereka. Untuk sampai ke
SMP, harus menempuh sekitar setengah jam perjalanan menggunakan motor. Bukannya
mereka tidak punya motor, tapi mereka lebih memilih menggunakan motor mereka
untuk pergi ke kebun. Namun semua itu hanyalah untuk menguatkan pendapat mereka
bahwa pendidikan tidaklah penting. Sehingga di dusun ini siswa yang melanjutkan
ke jenjang SMP bisa dihitung jari.
Entah
siapa yang salah. Semua salah, atau mungkin tidak ada yang salah. Ini hanya
masalah perspektif saja. Tapi bukankah pendidikan itu tidak hanya untuk
meningkatkan taraf hidup dari segi finansial saja? Karena disadari atau tidak,
tanpa pendidikan kita tidak akan mampu menjalankan peran kita sebagai manusia
dengan sempurna. Terlebih manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya
dibanding makhluk lain. Tentunya dengan pendidikanlah kita mampu dan layak
menyandang predikat tersebut. Kalaupun harus dinilai secara komersil, orang yang berpendidikan tidak akan pernah hidup kelaparan, kendatipun ia tidak memiliki kebun karet yang luas. Jikapun ada, itu adalah orang malas yang tidak mau mengaplikasikan ilmunya. Dan yang paling penting adalah bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang manfaatnya tidak bergantung pada alam seperti halnya SDA. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa
pemahaman seperti ini mungkin akan sangat mudah diterima oleh kalangan
orang-orang yang terdidik, tapi tidak untuk mereka yang hidup jauh dari
hiruk-pikuk kota yang terdidik langsung oleh alam. Sehingga ini menjadi tugas
bersama bangsa ini untuk berupaya menyadarkan mereka akan pentingnya
pendidikan. Secara konstitusi ini adalah tugas pemerintah, namun secara
hierarki ini merupakan tugas setiap orang yang terdidik. Mungkin dengan hadirnya inspirator pendidikan akan mampu mengubah pola pikir mereka.
“Menyumbang uang itu baik, memberikan buku itu
bermanfaat, membangun fasilitas pendidikan itu mulia. Namun, iuran terbesar dan
terpenting dalam pendidikan adalah kehadiran. Hadirnya inspirator merupakan
iuran terbesar dalam pendidikan.” Anies
Baswedan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar