Perempuan
paruh baya dengan rambut di atas bahu yang beberapa helai mulai memutih itu
terus menatap Dian. Tatapannya tajam, bak ikan pemanah yang hendak menerkam
burung yang terbang di atasnya. Dari raut wajahnya, tampak sekali adanya
kekecewaan yang sangat mendalam.
Dian mencoba
meneduhkan pikirannya. Ia seperti seorang terdakwa yang belingsatan karena menerima
vonis dari seorang jaksa tanpa mengetahui jelas apa kesalahannya. Diam adalah
satu-satunya jalan yang ia pilih.
Sesekali Dian mengeluarkan kalimat dari mulutnya, tetapi selalu dimentahkan
oleh perempuan itu.
Semua ini
berawal dari _menurut perempuan itu_ kesalahan Dian saat berada di sepetak
ruang itu. Sebuah kelas kecil untuk micro
teaching calon Pengajar Muda V. Sebanyak 14 calon Pengajar Muda yang
tergabung di kelompk Dian harus menyimulasikan teori mengajar yang sudah
dipelajari selama kurang lebih empat
minggu. Dan perempuan paruh baya itu adalah Assessor
yang didatangkan dari salah satu universitas ternama di ibukota.
Lagu
anak-anak. Ya. Masalah tersebut bermula dari hal yang __menurut Dian__ sangat
sepele, yakni lagu anak-anak. Lagu yang saat ini sudah mulai dicampakkan oleh
sebagian orang, terutama anak-anak. Lagu yang dianggap kedaluarsa dan sudah
tidak memiliki nilai seni. Lagu yang ketika orang melantunkannya dianggaplah
sebagai orang lawas yang tidak gaul dan tidak peka terhadap perkembangan musik
masa kini.
“Kamu ikut
menyanyi atau saya yang keluar?” Gertak Bu Ani mengagetkan Dian.
Sontak, Dian
pun langsung terperanjat dari tempat duduknya. Tercengang bercampur tidak
percaya. Bu Ani yang ia lihat seperti priyayi yang lemah gemulai ternyata mampu
membuat seisi ruangan terdiam, tanpa ucap, termasuk dirinya.
Sebenarnya
bukan niat Dian mengabaikan perintahnya ketika ibu tersebut memerintahkan semua
yang ada di ruangan tersebut melantunkan sebuah lagu yang pernah dipopulerkan
oleh penyanyi cilik, Tasya, yang berjudul “Paman Datang”. Tapi memang Dian sama
sekali tidak mafhum dengan lagu itu, nada maupun liriknya.
“Kalu kamu
masih tidak mau menyanyi, biar saya pulang ke Jakarta saja!” kata Bu Ani
semakin geram.
Dian semakin
bingung. “Ssseetttt.... aku harus bagaimana?” Teriak Dian dalam gumamnya. Padahal
Dian sudah bertutur pada ibu itu bahwa ia tidak hafal lagu itu. Kendatipun ia
diancam dengan ancaman terkeji yang pernah ia dengar, Dian tetap tidak akan
membuka mulutnya untuk melantunkan lagu itu. Atau mungkin ada yang menawarinya
dengan seikat dolar agar ia mau melantunkannya, ia masih tetap pada
pendiriannya, diam. “Andaikan saja pilihannya adalah aku menyanyi atau aku
keluar, aku tidak akan sebingung ini, karena pilihan kedua yang pasti kuambil.”
Bisik Dian kepada teman di sebelahnya.
“Maaf bu,
saya benar-benar tidak hafal lagunya.” Ucap Dian lagi mencoba meyakinkan ibu
itu.
Namun ibu
itu tetap bergeming, seakan mengabaikan alasan yang diutarakan Dian, tatapnya
semakin tajam.
“Jangan
bilang tidak hafal, tapi belum hafal.” Sanggah Bu Ani sambil berjalan
mendekatinya.
Keringat
dingin mulai mengucur deras membasahi dahi Dian, ia pejamkan mata dan membukanya lagi,
berharap terbangun dari mimpi buruk itu.
Tapi semuanya sia-sia, karena kini ia sedang berada di dunia nyata.
“Kamu akan
menjadi guru, mengajar anak-anak di sana nanti, jadi kamu harus bisa memberikan
contoh kepada mereka.” Imbuh Bu Ani.
Dan akhirnya
Dian pun mengerti, mengapa ibu itu menghakiminya seperti itu. Hanya karena dua
kata yang keluar dari mulutnya yang dianggap tidak tepat Dian gunakan, tidak
hafal.
Ibu itupun
terus berlanjut menceramahi Dian, mengeluarkan argumennya mengapa tidak boleh
menggunakan kata itu, karena menurutnya tidak hafal itu sangat berbeda dengan
belum hafal. “Jika kamu mengatakan tidak hafal, maka selamanya kamu tidak akan
hafal, tapi jika kamu mengatakan belum hafal, ada kemungkinan suatu saat nanti
kamu akan hafal, dan itulah karakter yang harus kamu tanamkan kepada
murid-mridmu nanti.”
Sejenak Dian
berpikir, “Perkataan ibu itu ada benarnya juga.” Meskipun Dian masih belum
terima dengan cara penyampaian ibu itu yang __menurutnya__ menyakitkan. Memang
tidak sedikit guru zaman sekarang yang terlalu dini memvonis muridnya bodoh,
malas, nakal, idiot, dan sifat-sifat jelek lainnya. Vonis seperti itulah yang
tidak akan membangun karakter positif siswa, justru sebaliknya akan membunuh
karakter mereka.
Ya, apa yang
kerap masuk ke dalam telinga anak-anak, itulah yang akan tertanam kuat di alam
bawah sadar mereka dan membentuk sebuah karakter. Seperti halnya lagu, jika
sedari mungil lagu yang didengar adalah lagu pop, rock, boy band, girl band,
dan lagu-lagu dewasa lain, maka bisa dipastikan mereka akan merasa asing jika
mendengar lagunya Tasya, Joshua, atau Trio Wek-wek. Dan itulah yang menimpa
Dian, terlahir sebagai bocah yang jarang bersentuhan dengan lagu anak-anak,
alhasil tidak lebih dari setengah lusin jumlah lagu anak yang ia hafal.
“Mulai
sekarang kamu harus mulai menghafal lagu anak-anak, bagaimana mungkin mau
mengajar anak SD jika lagu anak-anak saja tidak hafal.” Ucap Bu Ani menyudahi
ceramahnya sambil kembali ke tempat duduknya.
Belakangan
baru Dian tersadar, betapa indahnya lagu anak-anak itu. Sebut saja lagu “jangan
takut gelap” nya Tasya yang mengajarkan kepada anak-anak agar senantiasa berdoa
sebelum terlelap, mengajak anak-anak agar mencintai kampung halaman melalui
tembang “desaku yang kucinta”, atau belajar menghormati guru melalui “hymne
guru”. Ah, lagu-lagu itu kini kian terhempaskan, terusir dari dunia anak, berganti
dengan lagu cengeng, lagu romantisme yang mendayu-dayu yang __seharusnya__
belum waktunya anak-anak dengar. Kini ia (baca: lagu anak) sedang menangis
lirih, berharap mendapatkan __kembali__ belaian lembut dari anak-anak. Jangan
bertanya tentang lagu wajib nasional, karena tidak ada yang tahu apakah dia
masih hidup atau sudah terkubur bersama jasad para pahlawan. Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar