Sabtu, 01 Desember 2012

Kampung Karet



Pukul empat sore lebih tiga puluh menit aku sampai di desa itu, sebuah desa kecil di pedalaman Tulang Bawang Barat yang berjarak sekitar tiga jam naik motor dari ibu kota kabupaten, desa yang akan menjadi tempatku bermukim nanti selama menggali inspirasi empat belas bulan ke depan. Dan akhirnya aku benar-benar menyentuh dan merasakan dengan panca inderaku secara langsung tempat yang selama ini hanya aku tangkap beritanya melalui Arga, PM 3 yang akan aku gantikan. Desa Terang Agung, begitulah orang-orang menyebutnya.
Di sepanjang lintasan menuju perkampungan ini, terlihat sebuah pemandangan yang belum pernah aku temui sebelumnya selama hampir seperempat abad umurku. Barisan pohon karet yang tersusun rapi memenuhi setiap lahan penduduk di salah satu kabupaten di provinsi gajah ini. Sejenak aku berfikir, karena jasa orang-orang di kampung inilah orang-orang kaya di ibu kota sana bisa melakukan aktivitasnya dengan mudah, meskipun para manusia langit itu enggan menyadari. Jika diperhatikan dengan seksama, posisi pohon karet itu sedikit condong ke sebuah arah, seakan sedang menundukkan kepala kepada sang pencipta, sang pemberi kehidupan. Di sebagian lahan yang lain terlihat tanah yang tertupi oleh hamparan tanaman singkong yang tingginya baru mencapai setengah meter. Pemandangan itu terlihat sejauh mata ini memandang, bak melihat sebuah bentangan karpet hijau yang teramat panjang.
Beberapa hari di kampung karet ini, banyak buah pelajaran yang telah aku petik. Pelajaran yang membuatku semakin merasa bahwa selama ini aku kurang bersyukur atas nikmat Tuhan yang secara cuma-cuma telah dianugerahkan kepadaku. Nikmat yang__mungkin__kebanyakan orang juga mengabaikannya. Sebuah karunia yang kita baru merasakan betapa pentingnya ia ketika ia telah pergi. Ia adalah “air”. Ya, mungkin sebagian orang menanggap air adalah sesuatu yang biasa saja, tidak ada istimewanya, tapi tidak untuk masyarakat Tulang Bawang Barat, khususnya desa Terang Agung, kecamatan Gunung Terang. Saat kemarau menghampiri, sumur-sumurpun kering kerontang meskipun kedalamannya telah mencapai kurang lebih 20 meter, kedalaman yang sangat tidak lazim untuk sumur di daerah asalku, Sulawesi. Untuk sumur bor, masih sangat jarang didapatkan di kampung ini, alhasil air menjadi barang yang sangat berharga di sepanjang dataran rendah di Pulau Sumatera ini.
Kondisi semacam ini mebuat beberapa warga terpaksa mengambil air dari rumah warga lain yang sedikit lebih beruntung karena sumurnya tidak mengalami kekeringan, termasuk bapak angkatku. Setiap pagi dan petang, beliau terlihat siap dengan motor bebeknya dan tiga buah jerigen untuk mengambil air yang jaraknya sekitar 400 meter dari rumah. Beberapa kali akupun mencoba membantu bapak untuk mengambil air. Hal tersebut berdampak pada aktivitas keseharian kami yang berhubungan dengan air. Satu ember plastik ukuran sedang menjadi jatah perorang untuk membersihkan badan (baca: mandi), dan hanya satu kali bilasan bila sedang mencuci pakaian. Memang tidak ada kesepakatan tertulis atau terikrar dari kami terkait aturan ini, namun kesadaran akan mahalnya air akan muncul dengan sendirinya ketika kita mengalami langsung.
Sulitnya mendapatkan air tidak serta merta membuat warga kampung yang berpenghasilan dari getah karet dan singkong ini bersuka cita ketika musim penghujan tiba. Karena ternyata ada masalah baru yang muncul ketika daerah yang lahannya belum resmi ini diguyur hujan, yakni jalannya tidak bisa dilewati. Dan itu sudah menjadi tragedi yang pasti terjadi dalam tiap tahunnya. Belum lagi jika hujan turun saat malam hari atau pagi hari, sudah bisa dipastikan warga harus menunda pekerjaannya menyadap karet. Meskipun panennya tiga hari sekali, tapi proses menyadapnya harus setiap hari.
Setelah hampir sebulan aku merasakan kekurangan air di kampung ini, musim hujan-pun tiba. Dan benar apa yang mereka katakan, kondisi jalan yang tekstur tanahnya dari jenis tanah liat itu nyaris tak berbentuk karena telah berubah menjadi lumpur. Hanya truk pengangkut singkong yang mau tidak mau harus melintasi jalan tersebut, itupun terpaksa karena harus menyetor singkong ke lapak. Hal ini menyebabkan kondisi jalan semakin parah. Menembus sela-sela pohon karet menjadi pilihan utama bagi pengendara sepeda motor dan pejalan kaki jika ingin melintas. Namun, karena seringnya dilewati, jalan setapak di dalam kebun karet itupun lama-kelamaan juga tak berbentuk. Anehnya, tidak ada upaya dari pemerintah setempat untuk memperbaiki kondisi jalan tersebut. Alasannya adalah yang tadi itu, bahwa tanah ini belum resmi, masih dalam sengketa.
Keadaan jalan yang licin dan berlumpur sering membuat pengendara sepeda motor terjatuh, atau bahkan tertanam. Terlebih pendatang seperti kami yang belum terlalu menguasai medan. Semua Pengajar Muda sebelum kami, PM III, pernah merasakan terjatuh dari kuda besi. “Belum dikatakan resmi menjadi orang Tulang Bawang Barat jika belum pernah jatuh dari motor.” Ucap salah seorang PM III saat bergurau dengan PM V. Dan baru beberapa hari di sini, sudah ada beberapa PM V yang mencicipi rasanya terjatuh dari motor. Meskipun aku belum pernah merasakannya, paling tidak aku pernah mengalami kejadian yang cukup memaksaku untuk menambak stok sabar dalam diriku, yaitu ketika kakiku harus menahan motor yang hampir terguling ketika melewati kubangan air yang warnanya mirip susu cokelat. Sepatu adidas putihku yang di hari sebelumnya aku cuci langsung berganti warna menjadi cokelat keabu-abuan.
Dua kondisi tersebut, musim hujan dan kemarau, sungguh bukan pilihan yang ideal. Tidak ada satu kondisi yang lebih baik dibanding kondisi lainnya. Dua-duanya dalah keputusan mutlak dari Tuhan yang harus dijalani, tentunya dengan perasaan legowo. Dan mereka (baca: warga Terang Agung) telah mengajariku bagaimana bersikap ikhlas dan tetap bersyukur dengan apapun yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Pastinya, selama empat belas bulan ke depan, akan ada banyak hal yang aku dapatkan dari kampung yang mereka sebut HTI (Hutan tanaman Industri) ini. Meskipun kampung ini tak seindah Pulau Hoga di Kabupaten Wakatobi, atau mungkin Halmahera Selatan yang selalu diagung-agungkan keindahannya oleh Pengajar Muda, namun aku yakin berjuta pengalaman berharga akan aku dapatkan di sini. Pengalaman yang tidak semua orang menjalaninya, entah karena tidak ada kesempatan atau tidak ada kemauan. Pengalaman yang takkan terbayarkan dengan apapun. Pengalaman yang bisa kuceritakan kepada anak cucuku kelak tubuh ini sudah mulai menua.

Jumat, 30 November 2012

Si Kutu Buku dari HTI



Tak pernah seharipun gadis berkulit hitam manis berambut lurus yang panjangnya di bawah bahu itu luput dari pandanganku. Entah itu pagi, siang, sore, bahkan sampai petang sekalipun. Mungkin akan menjadi sebuah hari yang abnormal jika sehari saja mata ini tak melihatnya.
Gadis cilik itu bernama Selviani. Gadis Lampung asli yang lebih akrab disapa Selvi atau Okta ini berasal dari keluarga sederhana, menyadap getah karet adalah pekerjaan sehari-hari orang tuanya. Ia adalah salah satu muridku di SDS Terang Agung yang kini tengah duduk di kelas V. Perawakannya kecil, sedikit pendiam, dan agak pemalu. Namun ketika telah mengenalnya lebih dekat, orang akan tahu bahwa sebenarnya dia adalah anak yang periang.
Sepintas, tidak ada perbedaan yang mencolok antara Selvi dengan muridku yang lain. Semua terlihat biasa-biasa saja. Namun setelah hampir satu purnama aku tinggal di kawasan HTI (Hutan Tanaman Industri) Desa Terang Agung ini, tepatnya di rumah Kepala sekolah, aku baru bisa mendapati perbedaan itu. Selvi sedikit berbeda dengan muridku kebanyakan, bukan pada parasnya atau sifatnya yang pemalu, tapi pada kebiasaannya yang aku lihat tidak dimiliki oleh murid-muridku yang lain, dia adalah anak kutu buku. Jika tidak berlebihan, aku ingin mengatakan bahwa separuh dirinya adalah buku, melihatnya tak ubahnya dengan melihat buku.
Akupun teringat dengan ucapan Pak Anies Baswedan. Dia pernah mengatakan bahwa kedatangan kami (baca: Pengajar Muda) di sebuah daerah bukanlah semata-semata untuk mengajar anak-anak, tapi justru kamilah yang akan belajar banyak pada anak-anak. Belajar banyak hal dari mereka; belajar tersenyum, belajar ikhlas, belajar mengelola emosi, dan masih banyak lagi. “Kalian akan mendapatkan banyak inspirasi dari mereka.” Ucap Pak Anies memotivasi kami. Dan benar, belum genap sebulan aku di sini, aku telah mendapatkan inspirasi dahsyat dari muridku sendiri. Inspirasi untuk senantiasa rajin membaca.
Aku menjulukinya__dalam hati__sebagai kutu buku bukan tanpa alasan. Karena setiap aku melihatnya, kedua tangannya selalu memegang sebuah kumpulan kalimat yang tercetak rapi itu, kapanpun dan di manapun. Terkadang aku malu dan menghardik diriku sendiri. Semua koleksi buku yang yang tersusun di meja belajarku hampir semua belum khatam kubaca, termasuk buku Indonesia Mengajar jilid 1 dan 2. Padahal dalam sebulan sekali aku selalu menyempatkan diri untuk membeli buku, namun selalu mempunyai beribu alasan untuk untuk tidak menyempatkan diri membacanya hingga selesai. Ah.. guru macam apa aku ini.
Tengah hari usai pulang sekolah, Selvi mungkin hanya pulang untuk sekadar ganti baju dan makan siang. Setelah itu dia sudah tertangkap oleh mataku berdiri di depan perpustakaan mini yang ada di rumahku. Sebanyak 5.000 buku sumbangan dari Telkom itu menjadi makan siang keduanya, dan juga makan sore. Pernah suatu saat ketika matahari sangat membakar, usai pulang dari sekolah aku langsung sholat, makan siang, lalu istirahat di dalam kamar, begitu juga dengan keluarga housefamku; Bapak, Ibu, dan adikku Diva. Tak tahan menahan panas yang semakin menggila, akupun berniat keluar rumah untuk menikmati angin di bawah pohon karet sebelah rumah. Baru saja aku membuka pintu kamarku, sesosok gadis kecil itu telah duduk di sebuah kursi depan rak buku dengan sebuah buku yang sangat dinikmatinya. “Ini anak nggak butuh istirahat apa ya?” gumamku dalam hati.
“Lagi ngapain Selvi?” Tanyaku basa-basi sambil menuju pintu keluar.
“Lagi baca buku Pak.” Jawabnya sambil tetap menatap bukunya.
Kuanggap kebiasaan Selvi itu memang di luar kelaziman. Hidup jauh dari peradaban tidak lantas membuatnya pasrah hingga akhirnya bermalas-malasan. Justru keterbatasan itu yang ia jadikan motivasi untuk bisa bersaing dengan anak-anak di luar sana yang mungkin kondisinya lebih baik dibanding dengan HTI ini. Waktu yang biasanya digunakan untuk istirahat atau untuk bermain bagi anak-anak, ia manfaatkan untuk membaca, membaca, dan membaca. Hingga petangpun, ia masih dengan aktivitas yang sama. Terlebih lagi jika hari minggu tiba, gadis yang bercita-cita ingin menjadi polwan ini sudah memulai aktivitas membacanya sejak film kartun Doraemon mulai hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Entahlah, apakah saat terlelap ia bertemankan buku juga, aku tidak tahu.
Hingga pada suatu hari aku menghampirinya dan sejenak aku ajak ngobrol. “Kamu nggak capek baca terus?” Tanyaku sembari mengambil satu buah buku di rak.
“Tidak Pak.” Jawabnya singkat.
“Memang tujuan kamu membaca apa sih?” Tanyaku penasaran.
“Menambah wawasan saja Pak, terus supaya saya bisa membuat karya sendiri nanti.” Jawabnya malu-malu.
Jawaban itu seakan menjadi tamparan keras buatku, juga buat orang-orang yang sampai saat ini masih enggan membaca buku, yang lebih gemar membaca status di facebook dan twitter ketimbang buku atau sebuah artikel. Dan anak sekecil Selvi telah mengajariku, mengajariku untuk mencintai ilmu pengetahuan, meskipun dengan cara sederhana, yaitu dengan membaca buku.
Belakangan baru aku tahu bahwa Selvi tidak hanya rajin membaca buku, tapi juga kitab suci agamanya, Al Quran. Dibanding teman-teman seusianya, dia paling fasih mengeja kalimat Tuhan yang tersusun 30 juz tersebut. Dia juga salah satu murid TPA ku yang tidak pernah alpa datang ke bale-bale di halaman rumahku untuk mengaji. Saat ini dia telah sampai pada juz 22 di usianya yang baru menginjak 11 tahun. Tidak jarang aku minta dia membantuku mengajari anak-anak yang baru mengaji iqro’.
Bocah mungil itu sungguh telah menginspirasiku, ia telah mengajariku bagaimana memanfaatkan waktu, mengajariku bagaimana mencintai buku, mengajariku menyeimbangkan antara belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, dan mengajariku untuk tetap berprestasi. Ya, Selvi adalah anak yang berprestasi. Mungkin dari kegemarannya membaca itu membuatnya tidak pernah lepas dari predikat juara kelas semenjak mulai beranjak dari taman kanak-kanak, hanya sekali saja ia terpeleset menjadi runner up. Dan akupun semakin yakin bahwa masih banyak mutiara terpendam di seluruh pelosok negeri ini.____
Terang Agung, November 2012

Kamis, 15 November 2012

Sebut Saja Ini Sekolah



Tidak lebih bagus dan tidak lebih buruk dari SD Muhammadiyah Gantong. Demikianlah jika aku diminta mendeskripsikan sekolah tempatku _sebut saja_ mengajar. Sekolah tersebut berada di sebuah desa kecil yang bernama Terang Agung, Kecamatan Gunung Terang, sekitar dua setengah jam naik motor dari Ibu Kota Kabupaten Tulang Bawang Barat dan empat sampai lima jam dari Bandar Lampung. Sejatinya, bangunan itu belum layak untuk disebut sebagai sekolah, betapa tidak, gedung tersebut hanya berdindingkan papan yang sudah mulai lapuk termakan oleh rayap, beratapkan seng yang sudah usang, tanpa plafon, dan tanpa ada satupun ventilasi yang dapat membawa aliran udara keluar masuk ruangan. Alhasil, bisa dipastikan siapapun akan bermandikan peluh ketika berada dalam ruangan tersebut, bahkan hanya untuk beberapa menit sekalipun. Ditambah lagi suhu yang kira-kira mencapai 37oC semakin membuat isi kepala ini seakan mendidih. Maka tak jarang aku membawa anak-anak untuk ke luar ruangan dan memilih untuk belajar di bawah pohon karet yang berada tak jauh dari kelasku. Dan ternyata cara ini justru lebih disenangi oleh mereka. Ya, ternyata alam lebih bersahabat dengan kita.
Masih soal sekolahku, gedung satu lokal itu sebenarnya hanya terdiri dari empat ruangan yang masing-masing ruangan mempunyai luas sekitar 4x6 m. Di antara ruangan terdapat  sekat papan seadanya setinggi orang dewasa berdiri sebagai pembatasnya. Suara lantang sangat mutlak dibutuhkan saat mengajar di dalam kelas, jika tidak, maka pekikan siswa di kelas sebelah akan menenggelamkan suara kita. Belum lagi jarangnya sekat antar ruangan yang menyebabkan siswa dapat dengan mudah bertransmigrasi ke ruangan lain, semakin menguji kesabaran guru di sekolah ini, termasuk diriku.
Sekolahku adalah satu-satunya sekolah dasar swasta di Kecamatan Gunung Terang di antara 23 sekolah dasar yang ada. Sekolah tersebut berdiri dari hasil swadaya masyarakat setempat. “Sekolah akar”, demikianlah beberapa orang menamainya, merujuk pada sebuah peribahasa “tak ada rotan akarpun jadi”. Di sekolah tersebut terdapat tujuh tenaga pengajar termasuk kepala sekolah. Lima perempuan, dua laki-laki, dan kesemuanya adalah tenaga honorer. Hal inilah yang terkadang menyebabkan kurangnya disiplin _sebagian_ para tenaga pengajar dalam menjalankan tugas, karena mereka harus mencari nafkah lain__nyadap getah karet__untuk sekadar mencukupi kebutuhan hidupnya. Terlebih lagi tidak ada di antara mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan, rata-rata hanya keluaran SMA, hanya satu lulusan D II dan satu PGSMTP. Tak pelak, akulah satu-satunya guru yang paling sering  dilihat siswa berdiri tegak dengan tangan siap memukul lonceng pada saat jarum jam menunjukkan pukul 07.30.
Sekolah tersebut memang sangat memprihatinkan, tetapi bukan berarti tidak ada usaha dari pihak sekolah atau masyarakat untuk membangun sekolah tersebut. Kerap kali kepala sekolah dan komite mengajukan bantuan pembangunan gedung ke Pemerintah Daerah, namun apalah daya, usaha tersebut selalu kandas, alasannya adalah tanah tempat sekolah tersebut menancap adalah tanah sengketa. Alasan tersebut memang bukan mengada-ada, karena memang desa Terang Agung adalah desa yang berdiri di kawasan bekas HTI (Hutan Tanaman Industri), sehingga sampai saat ini pemerintah masih enggan mengucurkan bantuan pembangunan gedung yang layak dipakai untuk proses belajar mengajar. Pun dengan tenaga pengajar, pihak sekolah juga sering meminta bantuan ke Dinas Pendidikan untuk dikirimkan tenaga pengajar ke sekolah tersebut, namun tak satupun PNS di kabupaten ini yang bersedia ditugaskan di sekolah tersebut, meskipun diming-iming jabatan kepala sekolah sekalipun. Kondisi geografislah yang menjadi alasannya. HTI merupakan daerah terdalam, terpencil, belum tersentuh aliran listrik, dan kondisi jalan yang sangat sulit untuk disebut bagus. Saat musim penghujan tiba selalu banjir, sehingga kondisi jalan menjadi berlumpur bak sawah yang siap untuk ditanami benih padi, atau seperti medan yang sering digunakan untuk lintasan offroad, dan saat musim kemarau tiba berubah menjadi gurun pasir yang diceraikan air.
Ah, mungkin aku terlalu menilai kondisi sekolahku dari sisi negatifnya. Bukankah sisi positifnya juga tak kalah banyak. Lebih baik aku melihat sisi itu. Ya, meskipun kondisi sekolahku sangat jauh di bawah sekolah-sekolah yang lain, namun semangat anak-anak tetap melejit untuk belajar mengeja huruf-huruf dan mengenal angka. Itulah yang membuatku tetap tersenyum dalam menjalani pengabdianku di desa ini. Mereka memang anak kampung, dekil, dan mungkin katro, tapi aku sangat yakin semangat tak kalah membumbung tinggi ketimbang mereka yang berada di kota besar yang di sekolahnya lengkap dengan fasilitas modern. Semangat inilah yang aku harapkan nantinya mampu mengantarkan mereka menggapai cita-cita yang mereka impikan. Paling tidak, mereka tidak terbunuh oleh keputusasaan mereka sendiri.

Sabtu, 27 Oktober 2012

Meredefinisikan Arti Kebahagiaan



Pagi itu menjadi awal langkah kami belajar menjadi guru di Sekolah Dasar. Ya, tanggal 12 Oktober adalah hari pertama para Calon Pengajar Muda angkatan V melangsungkan Praktik Pengalaman Mengajar (PPM), sebelum nantinya kami resmi menjadi Pengajar Muda.  Angkot tua berwarna merah itu menjadi saksi keberangkatan kami dari barak menuju lokasi. SDN 5 Cikao Bandung adalah sekolah tempat kami PPM, Aku, Indra, Panca, Nina, dan Fara.
Tepat pukul 06.45 WIB, kami sudah sampai di lokasi. Menurutku itu sebuah kesuksesan, karena kalau bukan karena PPM, pada jam tersebut kami masih bermalas-malasan, bahkan mandipun belum. Tapi pasti nanti akan terbiasa, terbiasa mandi pagi, terbiasa sarapan pagi, dan yang serba pagi lainnya.
Bukan sebuah kebetulan bahwa kami berlima mempunyai karakter yang hampir sama dalam hal bersosialisasi dengan orang lain. Alhasil, tidak butuh waktu yang lama bagi kami untuk berinteraksi dan membaur bersama dewan guru yang ada di sekolah tersebut. “Tidak ada perbedaan di antara kita, tidak ada guru lama atau guru baru, posisi kita di sini sama, sama-sama belajar.” Ucap Kepala Sekolah kepada kami. Simpul senyumpun mulai merekah di bibir kami. Ternyata bahagia itu sederhana, yaitu ketika disambut dan diterima baik oleh pihak sekolah.
Setelah lama berbincang-bincang dengan Kepala Sekolah dan beberapa dewan guru yang ada, kamipun menyetujui beberapa kesepakatan. Dan pada hari itu, kami mendapat izin untuk masuk ke kelas meskipun siswa sedang melangsungkan UTS. Satu persatu kelaspun kami masuki, sekadar untuk melihat-melihat calon siswa-siswi yang akan menemani kami selama satu minggu ke depan. Dan sungguh menakjubkan, anak-anak itu sungguh sangat antusias menyambut kedatangan kami. Senyum penuh cinta sudah mulai terpancar dari raut wajah para generasi penerus bangsa tersebut. Untuk kedua kalinya aku meyakini bahwa bahagia itu sederhana, yaitu ketika anak-anak menyambut kami dengan senyuman penuh cinta.
UTS pun selesai, artinya waktu bermain telah tiba. Sorot mata seluruh siswa mulai tertuju kepada kami, dan mereka mulai memberanikan diri utuk mendekati kami, mungkin karena kami adalah para guru muda yang__anggap saja__mempesona, sehingga sekali bertemu dengan kami tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak terpikat kepada kami. Dari situlah awal keakraban kami. Bersama mereka, kami bisa belajar sambil bermain, menirukan gaya monyet berjalan, kodok berjalan, dan dan beberapa permainan lain yang membuat kami seakan sudah saling kenal setahun yang lalu. Kesenangan dan keceriaan, itulah yang dapat aku baca dari wajah mereka. Meskipun pada saat itu sinar matahari secara terang-terangan menyatakan perang, namun semangat anak-anak tidak menguap sedikitpun. Untuk ketiga kalinya aku telah mengetahui definisi kebahagiaan. Bahagia itu sederhana, yaitu ketika keberadaan kami dapat membuat mereka tertawa, ceria, dan bahagia.
Matahari semakin terik, kamipun tidak tega melihat anak-anak kepanasan bermain di lapangan, lalu kami berinisiatif melanjutkan beberapa permainan di dalam kelas, seperti yang telah diajarkan para fasilitator di tempat pelatihan. Dan disitulah tragedi itu berawal, tragedi yang baru aku alami selama 24 aku hidup, yang tentunya akan mengendap di amigdalaku sampai nanti. Saat hendak memasuki kelas, karena jumlah kami hanya berlima dan tidak semua masuk kelas, otomatis tidak semua kelas akan terisi. Pada saat itulah aku menjadi rebutan anak-anak kelas 2, kelas 4, dan kelas 6. Tangan kananku ditarik oleh segerombolan anak-anak imut kelas 2, dan tangan kiriku ditarik oleh sekitar 10 orang anak-anak kelas 4, sementara anak kelas 6 menunggu siapa yang menang di antara mereka dan selanjutnya siap menerkamku. Untuk kesekian kalinya, aku dapat mendefinisikan kebahagiaan. Bahagia itu sederhana, yaitu ketika anak-anak memperebutkanku untuk masuk ke dalam kelas mereka.
Suasana hati akan sangat menentukan aktivitas setiap orang. Tanpa terasa, kami harus meninggalkan sekolah tersebut. Waktu telah membatasi kebahagiaan kami pada hari itu. Akupun ingin segera berada pada hari senin tanpa harus melalui sabtu dan minggu agar aku bisa cepat bersua kembali dengan mereka. Sabtu dan minggu merupakan hari libur untuk sekolah di daerah ini. Jujur, aku telah terpikat dengan mereka. Ya, mereka adalah para pria dan gadis kecil yang telah mencuri hatiku. Kejutan terakhir pada hari itu adalah ketika semua siswa mendatangi kami hanya untuk mencium punggung tangan kami seraya pamit pulang. Seketika hati ini terenyuh, dan aku baru sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada anak-anak. Dan ternyata bahagia itu sederhana, yaitu ketika aku mulai jatuh cinta kepada anak-anak._____________