Tak
pernah seharipun gadis berkulit hitam manis berambut lurus yang panjangnya di
bawah bahu itu luput dari pandanganku. Entah itu pagi, siang, sore, bahkan
sampai petang sekalipun. Mungkin akan menjadi sebuah hari yang abnormal jika sehari
saja mata ini tak melihatnya.
Gadis
cilik itu bernama Selviani. Gadis Lampung asli yang lebih akrab disapa Selvi
atau Okta ini berasal dari keluarga sederhana, menyadap getah karet adalah
pekerjaan sehari-hari orang tuanya. Ia adalah salah satu muridku di SDS Terang
Agung yang kini tengah duduk di kelas V. Perawakannya kecil, sedikit pendiam,
dan agak pemalu. Namun ketika telah mengenalnya lebih dekat, orang akan tahu
bahwa sebenarnya dia adalah anak yang periang.
Sepintas,
tidak ada perbedaan yang mencolok antara Selvi dengan muridku yang lain. Semua
terlihat biasa-biasa saja. Namun setelah hampir satu purnama aku tinggal di kawasan
HTI (Hutan Tanaman Industri) Desa Terang Agung ini, tepatnya di rumah Kepala
sekolah, aku baru bisa mendapati perbedaan itu. Selvi sedikit berbeda dengan
muridku kebanyakan, bukan pada parasnya atau sifatnya yang pemalu, tapi pada
kebiasaannya yang aku lihat tidak dimiliki oleh murid-muridku yang lain, dia
adalah anak kutu buku. Jika tidak berlebihan, aku ingin mengatakan bahwa
separuh dirinya adalah buku, melihatnya tak ubahnya dengan melihat buku.
Akupun
teringat dengan ucapan Pak Anies Baswedan. Dia pernah mengatakan bahwa
kedatangan kami (baca: Pengajar Muda) di sebuah daerah bukanlah semata-semata untuk
mengajar anak-anak, tapi justru kamilah yang akan belajar banyak pada
anak-anak. Belajar banyak hal dari mereka; belajar tersenyum, belajar ikhlas,
belajar mengelola emosi, dan masih banyak lagi. “Kalian akan mendapatkan banyak
inspirasi dari mereka.” Ucap Pak Anies memotivasi kami. Dan benar, belum genap
sebulan aku di sini, aku telah mendapatkan inspirasi dahsyat dari muridku
sendiri. Inspirasi untuk senantiasa rajin membaca.
Aku
menjulukinya__dalam hati__sebagai kutu buku bukan tanpa alasan. Karena setiap
aku melihatnya, kedua tangannya selalu memegang sebuah kumpulan kalimat yang
tercetak rapi itu, kapanpun dan di manapun. Terkadang aku malu dan menghardik
diriku sendiri. Semua koleksi buku yang yang tersusun di meja belajarku hampir
semua belum khatam kubaca, termasuk buku Indonesia Mengajar jilid 1 dan 2. Padahal
dalam sebulan sekali aku selalu menyempatkan diri untuk membeli buku, namun
selalu mempunyai beribu alasan untuk untuk tidak menyempatkan diri membacanya
hingga selesai. Ah.. guru macam apa aku ini.
Tengah
hari usai pulang sekolah, Selvi mungkin hanya pulang untuk sekadar ganti baju
dan makan siang. Setelah itu dia sudah tertangkap oleh mataku berdiri di depan
perpustakaan mini yang ada di rumahku. Sebanyak 5.000 buku sumbangan dari
Telkom itu menjadi makan siang keduanya, dan juga makan sore. Pernah suatu saat
ketika matahari sangat membakar, usai pulang dari sekolah aku langsung sholat,
makan siang, lalu istirahat di dalam kamar, begitu juga dengan keluarga housefamku;
Bapak, Ibu, dan adikku Diva. Tak tahan menahan panas yang semakin menggila, akupun
berniat keluar rumah untuk menikmati angin di bawah pohon karet sebelah rumah. Baru
saja aku membuka pintu kamarku, sesosok gadis kecil itu telah duduk di sebuah kursi
depan rak buku dengan sebuah buku yang sangat dinikmatinya. “Ini anak nggak
butuh istirahat apa ya?” gumamku dalam hati.
“Lagi
ngapain Selvi?” Tanyaku basa-basi sambil menuju pintu keluar.
“Lagi
baca buku Pak.” Jawabnya sambil tetap menatap bukunya.
Kuanggap
kebiasaan Selvi itu memang di luar kelaziman. Hidup jauh dari peradaban tidak
lantas membuatnya pasrah hingga akhirnya bermalas-malasan. Justru keterbatasan
itu yang ia jadikan motivasi untuk bisa bersaing dengan anak-anak di luar sana yang
mungkin kondisinya lebih baik dibanding dengan HTI ini. Waktu yang biasanya
digunakan untuk istirahat atau untuk bermain bagi anak-anak, ia manfaatkan
untuk membaca, membaca, dan membaca. Hingga petangpun, ia masih dengan aktivitas
yang sama. Terlebih lagi jika hari minggu tiba, gadis yang bercita-cita ingin menjadi
polwan ini sudah memulai aktivitas membacanya sejak film kartun Doraemon mulai
hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Entahlah, apakah saat terlelap ia
bertemankan buku juga, aku tidak tahu.
Hingga
pada suatu hari aku menghampirinya dan sejenak aku ajak ngobrol. “Kamu nggak
capek baca terus?” Tanyaku sembari mengambil satu buah buku di rak.
“Tidak
Pak.” Jawabnya singkat.
“Memang
tujuan kamu membaca apa sih?” Tanyaku penasaran.
“Menambah
wawasan saja Pak, terus supaya saya bisa membuat karya sendiri nanti.” Jawabnya
malu-malu.
Jawaban
itu seakan menjadi tamparan keras buatku, juga buat orang-orang yang sampai
saat ini masih enggan membaca buku, yang lebih gemar membaca status di facebook dan twitter ketimbang buku atau sebuah artikel. Dan anak sekecil Selvi
telah mengajariku, mengajariku untuk mencintai ilmu pengetahuan, meskipun dengan
cara sederhana, yaitu dengan membaca buku.
Belakangan
baru aku tahu bahwa Selvi tidak hanya rajin membaca buku, tapi juga kitab suci
agamanya, Al Quran. Dibanding teman-teman seusianya, dia paling fasih mengeja
kalimat Tuhan yang tersusun 30 juz tersebut. Dia juga salah satu murid TPA ku
yang tidak pernah alpa datang ke bale-bale
di halaman rumahku untuk mengaji. Saat ini dia telah sampai pada juz 22 di
usianya yang baru menginjak 11 tahun. Tidak jarang aku minta dia membantuku
mengajari anak-anak yang baru mengaji iqro’.
Bocah
mungil itu sungguh telah menginspirasiku, ia telah mengajariku bagaimana
memanfaatkan waktu, mengajariku bagaimana mencintai buku, mengajariku menyeimbangkan
antara belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, dan mengajariku untuk
tetap berprestasi. Ya, Selvi adalah anak yang berprestasi. Mungkin dari kegemarannya
membaca itu membuatnya tidak pernah lepas dari predikat juara kelas semenjak mulai
beranjak dari taman kanak-kanak, hanya sekali saja ia terpeleset menjadi runner up. Dan akupun semakin yakin
bahwa masih banyak mutiara terpendam di seluruh pelosok negeri ini.____
Terang Agung, November 2012