Jumat, 30 November 2012

Si Kutu Buku dari HTI



Tak pernah seharipun gadis berkulit hitam manis berambut lurus yang panjangnya di bawah bahu itu luput dari pandanganku. Entah itu pagi, siang, sore, bahkan sampai petang sekalipun. Mungkin akan menjadi sebuah hari yang abnormal jika sehari saja mata ini tak melihatnya.
Gadis cilik itu bernama Selviani. Gadis Lampung asli yang lebih akrab disapa Selvi atau Okta ini berasal dari keluarga sederhana, menyadap getah karet adalah pekerjaan sehari-hari orang tuanya. Ia adalah salah satu muridku di SDS Terang Agung yang kini tengah duduk di kelas V. Perawakannya kecil, sedikit pendiam, dan agak pemalu. Namun ketika telah mengenalnya lebih dekat, orang akan tahu bahwa sebenarnya dia adalah anak yang periang.
Sepintas, tidak ada perbedaan yang mencolok antara Selvi dengan muridku yang lain. Semua terlihat biasa-biasa saja. Namun setelah hampir satu purnama aku tinggal di kawasan HTI (Hutan Tanaman Industri) Desa Terang Agung ini, tepatnya di rumah Kepala sekolah, aku baru bisa mendapati perbedaan itu. Selvi sedikit berbeda dengan muridku kebanyakan, bukan pada parasnya atau sifatnya yang pemalu, tapi pada kebiasaannya yang aku lihat tidak dimiliki oleh murid-muridku yang lain, dia adalah anak kutu buku. Jika tidak berlebihan, aku ingin mengatakan bahwa separuh dirinya adalah buku, melihatnya tak ubahnya dengan melihat buku.
Akupun teringat dengan ucapan Pak Anies Baswedan. Dia pernah mengatakan bahwa kedatangan kami (baca: Pengajar Muda) di sebuah daerah bukanlah semata-semata untuk mengajar anak-anak, tapi justru kamilah yang akan belajar banyak pada anak-anak. Belajar banyak hal dari mereka; belajar tersenyum, belajar ikhlas, belajar mengelola emosi, dan masih banyak lagi. “Kalian akan mendapatkan banyak inspirasi dari mereka.” Ucap Pak Anies memotivasi kami. Dan benar, belum genap sebulan aku di sini, aku telah mendapatkan inspirasi dahsyat dari muridku sendiri. Inspirasi untuk senantiasa rajin membaca.
Aku menjulukinya__dalam hati__sebagai kutu buku bukan tanpa alasan. Karena setiap aku melihatnya, kedua tangannya selalu memegang sebuah kumpulan kalimat yang tercetak rapi itu, kapanpun dan di manapun. Terkadang aku malu dan menghardik diriku sendiri. Semua koleksi buku yang yang tersusun di meja belajarku hampir semua belum khatam kubaca, termasuk buku Indonesia Mengajar jilid 1 dan 2. Padahal dalam sebulan sekali aku selalu menyempatkan diri untuk membeli buku, namun selalu mempunyai beribu alasan untuk untuk tidak menyempatkan diri membacanya hingga selesai. Ah.. guru macam apa aku ini.
Tengah hari usai pulang sekolah, Selvi mungkin hanya pulang untuk sekadar ganti baju dan makan siang. Setelah itu dia sudah tertangkap oleh mataku berdiri di depan perpustakaan mini yang ada di rumahku. Sebanyak 5.000 buku sumbangan dari Telkom itu menjadi makan siang keduanya, dan juga makan sore. Pernah suatu saat ketika matahari sangat membakar, usai pulang dari sekolah aku langsung sholat, makan siang, lalu istirahat di dalam kamar, begitu juga dengan keluarga housefamku; Bapak, Ibu, dan adikku Diva. Tak tahan menahan panas yang semakin menggila, akupun berniat keluar rumah untuk menikmati angin di bawah pohon karet sebelah rumah. Baru saja aku membuka pintu kamarku, sesosok gadis kecil itu telah duduk di sebuah kursi depan rak buku dengan sebuah buku yang sangat dinikmatinya. “Ini anak nggak butuh istirahat apa ya?” gumamku dalam hati.
“Lagi ngapain Selvi?” Tanyaku basa-basi sambil menuju pintu keluar.
“Lagi baca buku Pak.” Jawabnya sambil tetap menatap bukunya.
Kuanggap kebiasaan Selvi itu memang di luar kelaziman. Hidup jauh dari peradaban tidak lantas membuatnya pasrah hingga akhirnya bermalas-malasan. Justru keterbatasan itu yang ia jadikan motivasi untuk bisa bersaing dengan anak-anak di luar sana yang mungkin kondisinya lebih baik dibanding dengan HTI ini. Waktu yang biasanya digunakan untuk istirahat atau untuk bermain bagi anak-anak, ia manfaatkan untuk membaca, membaca, dan membaca. Hingga petangpun, ia masih dengan aktivitas yang sama. Terlebih lagi jika hari minggu tiba, gadis yang bercita-cita ingin menjadi polwan ini sudah memulai aktivitas membacanya sejak film kartun Doraemon mulai hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Entahlah, apakah saat terlelap ia bertemankan buku juga, aku tidak tahu.
Hingga pada suatu hari aku menghampirinya dan sejenak aku ajak ngobrol. “Kamu nggak capek baca terus?” Tanyaku sembari mengambil satu buah buku di rak.
“Tidak Pak.” Jawabnya singkat.
“Memang tujuan kamu membaca apa sih?” Tanyaku penasaran.
“Menambah wawasan saja Pak, terus supaya saya bisa membuat karya sendiri nanti.” Jawabnya malu-malu.
Jawaban itu seakan menjadi tamparan keras buatku, juga buat orang-orang yang sampai saat ini masih enggan membaca buku, yang lebih gemar membaca status di facebook dan twitter ketimbang buku atau sebuah artikel. Dan anak sekecil Selvi telah mengajariku, mengajariku untuk mencintai ilmu pengetahuan, meskipun dengan cara sederhana, yaitu dengan membaca buku.
Belakangan baru aku tahu bahwa Selvi tidak hanya rajin membaca buku, tapi juga kitab suci agamanya, Al Quran. Dibanding teman-teman seusianya, dia paling fasih mengeja kalimat Tuhan yang tersusun 30 juz tersebut. Dia juga salah satu murid TPA ku yang tidak pernah alpa datang ke bale-bale di halaman rumahku untuk mengaji. Saat ini dia telah sampai pada juz 22 di usianya yang baru menginjak 11 tahun. Tidak jarang aku minta dia membantuku mengajari anak-anak yang baru mengaji iqro’.
Bocah mungil itu sungguh telah menginspirasiku, ia telah mengajariku bagaimana memanfaatkan waktu, mengajariku bagaimana mencintai buku, mengajariku menyeimbangkan antara belajar ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, dan mengajariku untuk tetap berprestasi. Ya, Selvi adalah anak yang berprestasi. Mungkin dari kegemarannya membaca itu membuatnya tidak pernah lepas dari predikat juara kelas semenjak mulai beranjak dari taman kanak-kanak, hanya sekali saja ia terpeleset menjadi runner up. Dan akupun semakin yakin bahwa masih banyak mutiara terpendam di seluruh pelosok negeri ini.____
Terang Agung, November 2012

Kamis, 15 November 2012

Sebut Saja Ini Sekolah



Tidak lebih bagus dan tidak lebih buruk dari SD Muhammadiyah Gantong. Demikianlah jika aku diminta mendeskripsikan sekolah tempatku _sebut saja_ mengajar. Sekolah tersebut berada di sebuah desa kecil yang bernama Terang Agung, Kecamatan Gunung Terang, sekitar dua setengah jam naik motor dari Ibu Kota Kabupaten Tulang Bawang Barat dan empat sampai lima jam dari Bandar Lampung. Sejatinya, bangunan itu belum layak untuk disebut sebagai sekolah, betapa tidak, gedung tersebut hanya berdindingkan papan yang sudah mulai lapuk termakan oleh rayap, beratapkan seng yang sudah usang, tanpa plafon, dan tanpa ada satupun ventilasi yang dapat membawa aliran udara keluar masuk ruangan. Alhasil, bisa dipastikan siapapun akan bermandikan peluh ketika berada dalam ruangan tersebut, bahkan hanya untuk beberapa menit sekalipun. Ditambah lagi suhu yang kira-kira mencapai 37oC semakin membuat isi kepala ini seakan mendidih. Maka tak jarang aku membawa anak-anak untuk ke luar ruangan dan memilih untuk belajar di bawah pohon karet yang berada tak jauh dari kelasku. Dan ternyata cara ini justru lebih disenangi oleh mereka. Ya, ternyata alam lebih bersahabat dengan kita.
Masih soal sekolahku, gedung satu lokal itu sebenarnya hanya terdiri dari empat ruangan yang masing-masing ruangan mempunyai luas sekitar 4x6 m. Di antara ruangan terdapat  sekat papan seadanya setinggi orang dewasa berdiri sebagai pembatasnya. Suara lantang sangat mutlak dibutuhkan saat mengajar di dalam kelas, jika tidak, maka pekikan siswa di kelas sebelah akan menenggelamkan suara kita. Belum lagi jarangnya sekat antar ruangan yang menyebabkan siswa dapat dengan mudah bertransmigrasi ke ruangan lain, semakin menguji kesabaran guru di sekolah ini, termasuk diriku.
Sekolahku adalah satu-satunya sekolah dasar swasta di Kecamatan Gunung Terang di antara 23 sekolah dasar yang ada. Sekolah tersebut berdiri dari hasil swadaya masyarakat setempat. “Sekolah akar”, demikianlah beberapa orang menamainya, merujuk pada sebuah peribahasa “tak ada rotan akarpun jadi”. Di sekolah tersebut terdapat tujuh tenaga pengajar termasuk kepala sekolah. Lima perempuan, dua laki-laki, dan kesemuanya adalah tenaga honorer. Hal inilah yang terkadang menyebabkan kurangnya disiplin _sebagian_ para tenaga pengajar dalam menjalankan tugas, karena mereka harus mencari nafkah lain__nyadap getah karet__untuk sekadar mencukupi kebutuhan hidupnya. Terlebih lagi tidak ada di antara mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan, rata-rata hanya keluaran SMA, hanya satu lulusan D II dan satu PGSMTP. Tak pelak, akulah satu-satunya guru yang paling sering  dilihat siswa berdiri tegak dengan tangan siap memukul lonceng pada saat jarum jam menunjukkan pukul 07.30.
Sekolah tersebut memang sangat memprihatinkan, tetapi bukan berarti tidak ada usaha dari pihak sekolah atau masyarakat untuk membangun sekolah tersebut. Kerap kali kepala sekolah dan komite mengajukan bantuan pembangunan gedung ke Pemerintah Daerah, namun apalah daya, usaha tersebut selalu kandas, alasannya adalah tanah tempat sekolah tersebut menancap adalah tanah sengketa. Alasan tersebut memang bukan mengada-ada, karena memang desa Terang Agung adalah desa yang berdiri di kawasan bekas HTI (Hutan Tanaman Industri), sehingga sampai saat ini pemerintah masih enggan mengucurkan bantuan pembangunan gedung yang layak dipakai untuk proses belajar mengajar. Pun dengan tenaga pengajar, pihak sekolah juga sering meminta bantuan ke Dinas Pendidikan untuk dikirimkan tenaga pengajar ke sekolah tersebut, namun tak satupun PNS di kabupaten ini yang bersedia ditugaskan di sekolah tersebut, meskipun diming-iming jabatan kepala sekolah sekalipun. Kondisi geografislah yang menjadi alasannya. HTI merupakan daerah terdalam, terpencil, belum tersentuh aliran listrik, dan kondisi jalan yang sangat sulit untuk disebut bagus. Saat musim penghujan tiba selalu banjir, sehingga kondisi jalan menjadi berlumpur bak sawah yang siap untuk ditanami benih padi, atau seperti medan yang sering digunakan untuk lintasan offroad, dan saat musim kemarau tiba berubah menjadi gurun pasir yang diceraikan air.
Ah, mungkin aku terlalu menilai kondisi sekolahku dari sisi negatifnya. Bukankah sisi positifnya juga tak kalah banyak. Lebih baik aku melihat sisi itu. Ya, meskipun kondisi sekolahku sangat jauh di bawah sekolah-sekolah yang lain, namun semangat anak-anak tetap melejit untuk belajar mengeja huruf-huruf dan mengenal angka. Itulah yang membuatku tetap tersenyum dalam menjalani pengabdianku di desa ini. Mereka memang anak kampung, dekil, dan mungkin katro, tapi aku sangat yakin semangat tak kalah membumbung tinggi ketimbang mereka yang berada di kota besar yang di sekolahnya lengkap dengan fasilitas modern. Semangat inilah yang aku harapkan nantinya mampu mengantarkan mereka menggapai cita-cita yang mereka impikan. Paling tidak, mereka tidak terbunuh oleh keputusasaan mereka sendiri.