Siang
itu adalah siang biasa. Sama seperti siang pada hari-hari biasanya, tak ada
yang istimewa di siang itu. Langit, awan, dan udara juga sama. Mataharinya-pun
sama, seperti hari-hari sebelumnya panasnya terasa menggigit ubun-ubun,
meskipun pada saat itu bayangan benda masih lebih panjang dibanding benda
aslinya. Tapi bukan panas yang itu, bukan panas yang pernah aku rasakan sewaktu
aku berada di ibu kota atau kota-kota besar lainnya. Ini adalah jamahan
langsung matahari, bukan karena radikal bebas yang telah memadati udara.
Di siang yang sama seperti siang biasanya itu, aku kembali mengalami hal yang_juga_tak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Untuk kesekian kalinya aku terjerembab ke dalam kubangan air bercampur lumpur yang warnanya tak jauh berbeda dengan susu cokelat. Dalam sekejap, pantofel hitam yang aku kenakan tak lagi berbentuk saat kaki ini mencoba menahan kuda besiku yang hampir saja menyelam ke dalam kubangan sedalam lutut orang dewasa itu. Dan siang itu akan menjadi sebuah kisah tersendiri yang akan melekat di amigdalaku meskipun sebenarnya kejadian seperti itu juga sering terjadi di siang-siang yang lain.
Di siang yang sama seperti siang biasanya itu, aku kembali mengalami hal yang_juga_tak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Untuk kesekian kalinya aku terjerembab ke dalam kubangan air bercampur lumpur yang warnanya tak jauh berbeda dengan susu cokelat. Dalam sekejap, pantofel hitam yang aku kenakan tak lagi berbentuk saat kaki ini mencoba menahan kuda besiku yang hampir saja menyelam ke dalam kubangan sedalam lutut orang dewasa itu. Dan siang itu akan menjadi sebuah kisah tersendiri yang akan melekat di amigdalaku meskipun sebenarnya kejadian seperti itu juga sering terjadi di siang-siang yang lain.
Meskipun
matahari sangat membakar, namun tak berpengaruh banyak terhadap kondisi jalan
di Tulang Bawang bagian Barat ini yang nyaris tak berbentuk akibat diguyur air
pada setiap sore atau malam harinya. Saat air tertumpah dari langit, beberapa
titik jalan menjelma menjadi aliran sungai dengan debit yang amat deras yang
entah dari mana asalnya, dan sebagian titik yang lain tak ubahnya seperti sawah
yang habis dibajak dan siap untuk ditanami padi. Meskipun bagiku ini aneh, tapi
tidak bagi mereka, masyarakat pribumi (baca: Lampung) yang setahun sekali
selalu mendapat suguhan yang sama.
Untungnya
aku tak sendirian. Jika Oemar Bakri dengan sepeda kumbangnya, maka aku dengan
bebek kecilku. Ya. Bebek berwarna merah itu telah menemani sepanjang
perjalananku di tanah pengabdian ini. Berbagai kisah aku dengannya telah
terajut dengan indah meskipun terkadang rasanya kurang indah. Meskipun
terkadang aku melupakannya, bebek bermerek TVS itu selalu setia menemaniku
dalam menaklukkan jalan tak beres di sepanjang kampung yang aku menyebutnya
sebagai kampung peradaban ini. Kampung yang_mungkin_tak pernah sekalipun
dikunjungi oleh para pemimpin di negara ini. Namun hasil kebunnya selalu
dinikmati oleh mereka, para manusia langit.
Kisah
di atas hanyalah sepenggal dari beberapa kisahku bersama motor investaris
kantor itu. Pernah juga kejadian serupa menimpaku saat awal-awal aku menjamah
kampung ini. Sepatu adidas putihku yang baru saja aku cuci seketika berubah warna
menjadi cokelat saat aku memilih menginjakkan kaki di lumpur untuk menahan TVS
yang hendak tersungkur ketimbang harus tubuhku yang bersentuhan langsung dengan
lumpur itu. Dan semenjak saat itu, sepatu itu belum pernah lagi aku kenakan
sampai detik ini. Mugkin sampai nanti saat musim panas menjelang.
Pernah
juga aku terpaksa menjalankan kuda besi itu dengan kekuatan otot yang ada di
tangan dan kakiku dikarenakan bannya bocor saat melintasi rimbunnya kebun karet.
Selama kurang lebih setengah jam aku mendorongnya untuk berusaha keluar dari
perkebunan itu dan mencari bengkel terdekat. Bukan hanya sekali, kejadian seperti
itu acap kali berulang. Jalan terjal berbatu mungkin adalah penyebab utamanya. Kejadian
lain seperti rantai lepas atau bahkan terputus di tengah perkebunan karet juga
pernah kualami.
Kondisi
jalan yang sangat buruk tersebut membuat TVS-ku sering keluar masuk rumah pesakitan
motor. Andai saja dia mampu berucap, mungkin sudah lama dia bertutur bahwa
dirinya telah mengalami kepayahan. Tubuhnya kini mulai ringkih, beberapa
tulangnya sudah mulai retak, dan organ dalamnya sudah mulai tak normal lagi.
Memang sudah waktunya untuk dia beristirahat, dari sejak zaman Pengajar Muda
angkatan pertama, saat ini motor tersebut telah memasuki tahun ketiga dalam
pengabdiannya. Ya. Bukan hanya kami Pengajar Muda yang_katanya_mengabdi, tapi
juga TVS itu. Bahkan mungkin nilai pengabdiannya jauh lebih tinggi di atas
kami.
Bersama
TVS merah itu aku telah melalui semuanya. Melintasi jalan yang jarang atau
bahkan takkan ditemui di kota-kota besar, kota tempat berakarnya orang-orang
yang mengaku sebagai wakil rakyat namun sering kali tak merakyat. Buktinya,
sudah hampir berganti generasi, jalan di kampung ini tak kunjung diperbaiki.
Dan bersama bebek merah itu aku tlah menaklukkan jalan yang sebenarnya tak layak
disebut jalan. Kadang terbesit pertanyaan apakah daerah ini masih masuk dalam kawasan
Indonesia atau bukan? Daerah ini sangat dekat sekaligus jauh dengan Pulau Jawa. Ya.
Meskipun jaraknya tak begitu jauh dengan Pulau Jawa, namun kondisi pembangunannya
amatlah jauh berbeda. Dan mungkin masih banyak daerah di sepanjang pantai
republik ini dengan kondisi serupa yang sebenarnya merupakan daerah yang kaya
dengan sumber daya alamnya. Tapi entah kenapa kekayaan itu tak lantas membuat
daerah itu maju dalam hal pembangunan. Ah sudahlah. Semua pasti ada hikmahnya. Paling
tidak semua ini semakin membuatku mahir mengendarai sepeda bermesin itu.
Sedikit memodifikasi tagline Indonesia mengajar, “setahun di Tulang Bawang Barat, seumur hidup lihai bersepeda motor”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar